Tampilkan postingan dengan label KUMPULAN PUISI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KUMPULAN PUISI. Tampilkan semua postingan

27 April 2013

TUGAS KAJIAN PUISI karya Isbedy Stiawan ZS



Tugas
Kajian Puisi










Oleh
Eka Rahmady Hardianto













Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Palangkaraya
2013
Aku Tandai
Karya: Isbedy Stiawan ZS

aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak
yang tak akan pernah terhapus bilangan
sampai hapal benar
aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal
tubuhku sendiri

dari akar dan batang rumputan yang pernah kita
petik dulu, kini telah pula jadi pohon:
menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai
menggores tanda di tubuhmu       tahi lalat itu        yang
senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau

tahi lalat yang tumbuh dari dunia kanak-kanak itu
akan selalu kuingat, bahkan jadi bunga setiapkali aku
tertidur.
meski tak beraroma, akan kuhidupi pula lekuk dan
gerakmu dalam gerakku pula, lalu akan menari di antara
tanah yang subur bagi mekarnya perjalanan ini.

ya. Aku tandai tahi lalatmu yang masih kukenang dari
dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,
sebagaimana kita menyatu  dalam rumah tangga
besar. Lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis
dalam hidangan di piring saat pagi dan petang

Lampung, 2001













1. Mitos dalam Puisi Aku Tandai karya Isbedy Stiawan
       Tahi lalat merupakan sebuah aksesori wajah yang membantu mempermanis wajah kita. Tahi lalat bisa jadi momok yang berbahaya bagi kesehatan dan terkadang malah bisa membuat si empunya tahi lalat menjadi minder akibat tahi lalat yang terlalu besar pada tempat yang terbuka. Tahi lalat disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan abnormal dari sel pigmen di bawah kulit yang lebih dalam. Tiap orang mempunyai tahi lalat. Jumlahnya bervariasi antara 10 - 40, meskipun ada juga yang sampai mempunyai 100-an tahi lalat.
       Kebanyakan tahi lalat muncul dari bayi lahir hingga usia dua puluh tahun, tetapi ada juga yang muncul selama proses perkembangan janin. Orang yang sering berjemur di bawah terik matahari mempunyai lebih banyak tahi lalat. Dalam perkembangannya tahi lalat ini mula- mula agak berwarna gelap, kemudian membesar, dan mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda- beda. Ada yang berbentuk oval, ada yang bulat, ada yang ditumbuhi rambut, ada yang polos, ada yang berwarna cokelat, hitam, dan merah muda. Ada tahi lalat yang berbahaya, ada juga yang tidak.
       Jika tahi lalat Anda terasa gatal atau sakit, atau terus membesar atau berdarah, sebaiknya periksakan ke dokter, sebab ada kemungkinan tahi lalat ini berkembang menjadi kanker kulit. Disarankan juga agar tidak berjemur tanpa pelindung kulit di terik matahari lebih dari dua jam, karena sinar matahari dapat menambah kecenderungan kulit mengalami melanoma (kanker kulit).
       Mitos dalam puisi Aku Tandai  karya Isbedy Stiawan ZS adalah tanda, menjadi sesuatu yang vital di dalam keseluruhan perpuisian. Dalam kehidupan sehari-hari tentunya kita mengenal tanda, apalagi di dalam puisi yang menjadi dasar pembicaraan tulisan adalah Aku Tandai Tahi Lalatmu yang menjadi penanda dalam puisinya. Puisi tersebut menjelaskan bagaimana tahi lalat menjadi inti dalam puisi tersebut.

2. Kata yang Dominan
       Frasa yang dominan dalam puisi di atas adalah yang pertama adalah /tahi lalat/, karena terdapat dalam setiap bait dalam puisi tersebut. Kata dominan merupakan kata yang sering digunakan atau dipakai dalm puisi yang menjadi topik atau inti puisi.

/aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak
yang tak akan pernah terhapus bilangan
sampai hapal benar
aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal
tubuhku sendiri/
      
       Frasa ‘tahi lalat’ terdapat dalam larik pertama, bait pertama. Kalimat tersebut menjelaskan bahwa tahi lalat merupakan tanda yang dimiki anak - anak sejak kecil yang takkan pernah terhapus dalam lekuk tubuh sebagai ciri dari pemiliknya.

/dari akar dan batang rumputan yang pernah kita
petik dulu, kini telah pula jadi pohon:
menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai
menggores tanda di tubuhmu       tahi lalat itu        yang
senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau/

       Frasa ‘tahi lalat’ juga terdapat pada bait ke dua, baris ke tiga. Kalimat tersebut menjelaskan bahwa tahi lalat pada tubuh kita akan menjadi saksi perjalanan hidup kita, walaupun sampai kita merantau ke negeri atau daerah lain tahi lalat tersebut akan tetap menjadi ciri atau tanda pribadi pemiliknya.

/tahi lalat yang tumbuh dari dunia kanak-kanak itu
akan selalu kuingat, bahkan jadi bunga setiapkali aku
tertidur.
meski tak beraroma, akan kuhidupi pula lekuk dan
gerakmu dalam gerakku pula, lalu akan menari di antara
tanah yang subur bagi mekarnya perjalanan ini/

       Kata ‘tahi lalat’ terdapat pada bait ketiga, baris pertama. Pada kalimat tersebut menjelaskan bahwa tahi lalat yang tumbuh pada dunia anak-anak akan selalu diingat sampai meninggal dunia sekalipun. Meski tak beraroma, tetapi akan selalu teringat sampai kapan pun.

/ya. Aku tandai tahi lalatmu yang masih kukenang dari
dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,
sebagaimana kita menyatu dalam rumah tangga
besar. Lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis
dalam hidangan di piring saat pagi dan petang/

       Frasa ‘tahi lalat’ terdapat juga pada bait terakhir yaitu bait ke empat, baris pertama. Pada kalimat tersebut menjalaskan bahwa tahi lalat menjadi tanda dari dunia kana-kanak semua. Seperti sebuah album yang menyatu seperti sebuah keluarga besar yang saling mengenal satu dengan yang lain, seperti sebuah hidangan di sebuah piring yang dimakan secara bersama-sama.
3. Pendapat Para Ahli tentang Kumpulan Puisi Isbedy Stiawan
       Berikut ini adalah pendapat para pakar tentang kumpulan puisi karya Isbedy Stiawan ZS dalam bukunya penerbit Gama Media.
       1. Menurut Sutardji Calzoum Bachri : “ISBEDY Stiawan ZS (Bandar Lampung) bukan muka baru dalam perpuisian. Sejak 1987, karya-karyanya sudah muncul di media massa. Pengalaman belasan tahun dalam pergaulan kreatif menghasilkan sejumlah sajak-sajak menarik. Tampak ungkapan-ungkapan segar dalam sajaknya ditampilkan dalam susunan saling bersambung—mendukung membentuk secara halus lembut dan tersamar suatu gagasan pikiran atau perasaan ataupun kesan, dalam suatu krutuhan yang diharapkan dapat menjadi renungan dalam. Begitu pula obsesinya dalam menandai keperihan hidup yang traumatik ditranformasikan, menjadi suatu upaya untuk mencari dan meraih hikmah segar bagi nilai hidup dan kemanusiaan.”
       2. Menurut Maesa Ayu (Cerpenis) : “Membaca Kumpulan puisi aku tandai Tahi Lalatmu, banyak hal di dalam hatiku bagai menemukan pasangan hidupnya. Kebetulan pagi ini suasana hatiku sedang romantis. Mungkin bisa kutambahkan, puisi-puisi tahi lalat Isbedy amat romantis. Selain itu, kata –katanya pun sangat jernih. sebuah puisi tentang senar gitar yang putus dan pesawat telepon SCB yang memangil itu saja, tetaplah menjadi sebuah  puisi yang baik ketika penulisnya mampu mengomunikasikan dam tulisannya dengan pembacaanya. inilah salah satu yang kusuka dari kumpulan puisi Isbedy.
4. Sejarah Perjalanan Sajak-Sajak Isbedy Stiawan ZS
       Isbedy Stiawan ZS, (lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 5 Juni 1958) adalah sastrawan Indonesia. H.B. Jassin menjulukinya Paus Sastra Lampung. Sejak lahir hingga kini, Isbedy tinggal menetap di Bandar Lampung. Selain menulis karya sastra (cerpen, puisi, esai sastra), kini dia aktif di Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Isbedy mulai bersentuhan dengan dunia sastra sejak bangku SMP tahun 1975. Karya-karya Kho Ping Hoo adalah bacaan yang saat itu digemarinya. Sebelum terkenal sebagai penulis, ia tekun bertaeter bersama Syaiful Irba Tanpaka dan A.M. Zulqornain dalam Sanggar Ragom Budaya. Ketika STM, dia mulai menggeluti sastra, yaitu menulis puisi dan cerpen. Dia kerap membacakan sajaknya dari panggung ke panggung. Sejak itu puisi, cerpen, dan esainya mengalir deras dan dimuat di berbagai media lokal dan nasional.
       Umumnya, proses kreatif puisi Isbedy lahir setelah ia menemukan kata-kata puitis terlebih dahulu, lalu diolah menjadi puisi. Ide kreatifnya bisa muncul kapan saja, saat perjalanan, merenung di waktu malam atau langsung di depan komputer.
Dia pernah diundang mengikuti berbagai kegiatan sastra di berbagai kota di Tanah Air, Malaysia, Thailand seperti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Bahru dan Kedah (Malaysia), Dialog Utara di Thailand, Utan Kayu Literary Festival, dan Ubud Writers and Readers International Festival.
       Isbedy mungkin satu- satunya penyair yang sangat produktif. Bahkan bila dibandingkan dengan semua penyair Indonesia, mungkin hanya Isbedy yang paling banyak menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal. Kadang- kadang, tidak sampai lima puluh puisi telah diterbitkan menjadi buku. Tahun 2003 terbit buku Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gema Media), yang hemat saya inilah buku kumpulan puisi Isbedy yang menampilkan puisi-puisi paling kuat. Tahun 2005 ada seratus buah puisinya yang ditulis dalam rentang tiga dekade 1980-an sampai 2000-an, yang diterbitkan oleh Grasindo dengan judul Kota Cahaya. Dalam buku ini tampak sekali perubahan-perubahan puisi Isbedy. Puisi yang ditulis era 1980-an menampilkan puisi-puisi religius.
       Beberapa waktu lalu terbit kembali buku himpunan puisi Isbedy dengan judul Setiap Baris Hujan (BukuPop, Jakarta (2008) dan Anjing Dini Hari (2010). Dalam dua buku terakhir terdapat sajak-sajak protes yang kering. Kalau dalam buku Aku Tandai Tahi Lalatmu muncul sajak-sajak sosial yang tidak verbal, yang menggugah dan memantik, maka sajak-sajak sosial dalam buku Setiap Baris Hujan mulai abai pada pengucapan yang jernih dan jatuh pada pengucapan yang terang-benderang.  Sajak-sajak tahi lalat yang jernih, seperti Aku Tandai: ”aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak yang tak akan pernah terhapus bilangan sampai hapal benar pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal tubuhku sendiri”. Menyimak sajak-sajak Isbedy dalam analekta Setiap Baris Hujan, memang tak semuanya jelek. Beberapa sajak yang tak membawa pesan moral eksplisit justru menggoda perhatian saya. Isbedy tampaknya sangat teruit pada kata-kata, walau pun kadang-kadang ia tak berdaya oleh kehadiran kata-kata, histeria dirajam oleh kata-kata. Hal itu mungkin karena dalam sajak-sajak Isbedy, kata tak ubahnya gelombang yang bagaikan benang-benang intuitif yang memintal kandungan maksud dengan cara membuka diri kepada pembaca. Sajak-sajaknya mengusung kemaknaan dengan maksud ingin berbagi, tidak sebagaimana sajak-sajak mahagelap yang anti-kata.
       Membaca sajak-sajak Isbedy terasa bahagia jika menyelam kandungan maknanya, ketimbang bersibuk-ria mempersoalkan tipografi dan gaya karena sangat biasa. Mungkin karena pengaruh bencana yang bertubi-tubi menimpa negeri ini, maka dalam buku puisi Isbedy sejak Kota Cahaya hingga Setiap Baris Hujan akan kita temukan gempa kata dan tsunami makna. Bahkan di sana ada bahala yang menimpa berbagai negeri yang membuat orang banyak celaka, yang dihadirkan lewat kacamata ingin bermakna.
       Dialektika kata dengan makna dan peritiwa tidak lain adalah suara. Kata menghadirkan dirinya, membentuk sebuah kemaknaan, dan pada kedalaman kemaknaan itu, sang penyair tidak pernah kembali pada kata-kata ini, melainkan menuju suatu benda yang dirujuk, baru kemudian kata tersebut dilepas dengan aturan main. Akan tetapi ada bedanya dengan imaji. Dalam kasus imaji, intensionalitas justru berbalik pada lukisan imaji yang menyelubungi makna secara konstan. Imaji, tidak lain seperti halnya dalam suatu kesadaran sang penyair.
       Di sini jelas bahwa Isbedy tidak terpengaruh oleh postmodernisme yang menggejala sejak 1990-an di negeri ini. Ia tetap intens menghayati kata, menakik struktur kata, dan sajak-sajaknya tidak hendak berada dalam menara epistemologi eksistensial dengan menghadirkan imaji, tetapi masuk ke kandungan makna melalui teruit kata-kata. Puisinya membangun rima dan bunyi hidup sebagaimana kebanyakan sajak liris. Tapi apakah cukup hanya dengan membuat kegaduhan bunyi subkultur atau bahana-bahana keras kepala agar menjadi resistensi. Sajak-sajak Isbedy tampaknya menjawab: tidak. Puisi-puisinya tak membahana oleh tekanan suara yang teratur, tapi ada suatu maksud dan ”nilai” yang sampai. Dengan maksud yang tegas, dan tak jarang menampilkan asosiasi yang mengajak pembaca untuk mencari referen ke sana-kemari, Isbedy berhasil memunculkan renungan yang sadar diri untuk tak hendak mengejar kebaruan, meski pun ada kata-kata yang sudah khas jadi milik sang penyair. Tak ada bunyi yang tanpa makna, karena dalam puisi bunyi memang seperti gema kemaknaan itu sendiri, dan rasa yang ditimbulkannya pun muncul secara bersama dengan rimanya. Aku lirik terjun dari kekosongan pencarian menuju bumi dan sumber-sumber literer untuk menemukan bahasa biasa saja lagi.
       Isbedy banyak menampilkan perumpamaan hujan sebagai kilatan ras rindu eksistensial. Hujan puisi Isbedy terasa rimis oleh kelebat awan kata-kata. Isbedy menjelma seorang pemain di lapangan hujan kata-kata, yang di awal kemunculannya dianggap sebagai penyair terdepan di Lampung, tapi kini ia harus ”bersaing” ketat dengan penyair-penyair lain yang menantang kata-kata.
       Keintimannya menjadikan kata sebagai alat tak lagi menghiraukan kalau bahasa dan gramatikanya kepeleset, tergelincir, karena hal ini erat hubungannya dengan kreativitas. Sajak-sajaknya menampilkan kristalisasi dari kata, tapi belum cukup untuk melukiskan seribu tahun dalam kesunyian.
       Semantik dari kata begitu dominan. Kata sebagai alat muncul bertubi-tubi, dan ini bukan sesuatu yang haram dalam sajak mutakhir. Sejak puisi lirik hadir sebagai salah satu genre puisi yang dirayakan banyak penyair di negeri ini, kehadirannya tak bisa menghindar sepenuhnya dari godaan subjek kata yang menekankan kesadaran tentang manusia dan alam raya. Dengan lirik Isbedy berusaha melukiskan dan mengungkapkan makna secara ilustratif. Pembaca dengan mudah bersua dengan renungan kemanusian.
      




22 Oktober 2012

Dramatisasi Puisi


Dramatisasi Puisi Angkatan 09
Penyuluhan 2012


Balada Perempuan Yang Menunggu
Karya Sri Handayaningsih


ADEGAN I
Terdengar jeritan Dasima. Ia berlari masuk sambil terus menjerit dan menutupi wajah dengan tangannya. Wajah Dasima mengalami luka bakar karena kebakaran yang juga menghanguskan rumahnya.
Dasima            :
Dasima terus meratap kesialan yang menimpanya. Kemudian ia menangis lirih.

Puisi:
Garis-garis tangan semacam peta buta
Kalian mesti menjalaninya

Dasima bangkit sambil terus meratap dan keluar.
Dasima            :

ADEGAN II
Warga yang panik karena terjadi kebakaran masuk.

Puisi:
Langkah-langkah dihitung ditata
Biar tak terjebak jalan buntu
Terperosok rawa-rawa kelu

Warga terus panik. Meratap karena rumah mereka juga ikut terbakar. Seorang nenek tua tiba-tiba histeris dan jatuh pingsan. Warga menggerubunginya, mencoba memberikan bantuan dengan menggendong nenek itu. Warga lain menyusul keluar panggung.

ADEGAN III
Dasima masuk dengan langkah gontai, tak henti meratapi nasibnya.

Puisi:
Anggap pedih sebagai lagu
Perut lapar wajah lusuh tempat kumuh
Hidangan khas aroma kaum papa
Menempa baja jadi pusaka mandraguna

Dasima kembali meratap.
Dasima            : …………………………
Dasima keluar.

ADEGAN IV
Masuk sekumpulan ibu-ibu.

Puisi:
Tersenyumlah, karena mengira-ngira nasib
Seperti sesak meraba waktu sendiri
Di ruang tanpa cahaya tanpa suara
Begitu liar tabiatnya
Tapi kini mencintainya walau kadang kecewa

Ibu I    : …………………
Ibu II   : …………………
Ibu III : …………………
Ibu IV : …………………
Ibu V   : …………………
Ibu       : Rasakan Dasimah!!

Puisi:
Biarkan ia terbang terjun
Rembulan akan menjaga
Kalian percaya, di tiap lembah
Ada jalan kawah

Seorang tukang sayur masuk. Para ibu-ibu segera mengabarkan berita buruk yang menimpa Dasima kepada tukang sayur yang juga menaruh hati pada kecantikan Dasima.
Ibu I    : ………………..
Ibu       : ………………..
Ibu       : ………………..
Tukang Sayur  : …………………….
Ibu       : …………………

Para ibu-ibu meninggalkan tukang sayur setelah selesai berbelanja. Tukang sayur keluar.

ADEGAN V
Dasima masuk. Duduk.

Puisi:
Perjalanan tak berujung, hai perempuan rindu
Senja yang kausulam gelisah menanti
Peluk matahari yang lelah
Seperti kau, resah menanti kekasih
Tak lekas ketemu.

Dasima tak henti meratapi nasibnya. Para tetangga hanya bias menggunjingnya. Mata para lelaki yang dulu selalu tertuju padanya pun mulai berpaling.
Dasima            : ……………………

Masuk Jaka, lelaki sederhana yang tetap mencintai Dasima dengan rupa seperti apapun.

Puisi:
Maka istirahatkan sejenak luka-lukamu
Ketika lelaki bermata lesu meminang air matamu
Jadi bunga jadi puisi
Kiranya dialah kekasih itu
Terjemahkan garis mata dan senyummu
Sebagai ibu rindu

Jaka berbincang dengang Dasima. Ia terus meyakinkan Dasima bahwa ia siap menerima apapun keadaan Dasima sekarang. Jaka menggenggam tangan Dasima. Dasima membuang mukanya.

Puisi:
Pengantin di dinding hatimu kekalkan janji
Tapi kau masih mencari tempat
menambat rindu sejati hingga
air dan cahaya pun mengikis batu

Dasima melepaskan genggaman tangan Joko. Dasima menolak Joko dengan alasan bahwa parasnya tak lagi secantik dulu. Tidak ada lagi orang yang mau menerimanya dengan tulus.
Dasima            : ………………………
Dasima pergi.
Jaka memanggil-manggil nama Dasima sambil meratap.

Puisi:
Begitulah cintamu. Sewaktu-waktu
Padam baranya ditinggal api
Terusik dan rubuh oleh suara-suara

ADEGAN VI
Dasima masuk. Ia bertingkah seolah kecantikan masih menjadi miliknya. Dasima berpapasan dengan Anwar dan Bagus. Dasima menebar pesona tanpa sadar seperti apa parasnya sekarang.

Puisi:
Kerling matamuanggur dalam guci waktu
Kautuang dalam gelas
Pemburu murtad di lading subur kalian
Kauduakan keyakinan dalam sendiri-Nya

Anwar dan Bagus merasa jijik pada Dasima. Mereka berbicara. Dasima terus mendekati dan mencari perhatian.
Dasima            :  ……………….
Anwar                         : …………………
Bagus              : …………………
Anwar             :(berbicara pada Bagus) Perempuan ini gila ya?
Bagus              : ………………..
Anwar dan Bagus segera berlalu meninggalkan Dasima. Dasima merasa kesal dan kecewa.

Puisi:
Maka nestapa dari segala nestapalah
Akhir pencarianmu

Masuk sekumpulan ibu-ibu yang tadi menertawakan kemalangan Dasima.

Puisi:
Kaularung buah dan cinta
Semanis madu ke samudera paling palung
Lanjutkan perjalanan
Kekasih tak lekas kembali

Mereka berbicara seolah tanpa mengetahui keberadaan Dasima di sana. Dasima mencuri-curi dengar obrolan mereka. Sekumpulan ibu-ibu itu membicarakan tentang susuk dari seorang dukun yang sakti mandraguna, yang bias membuat si pemakai terlihat cantik tak tertandingi.
Ibu 1    : ……………………..
Ibu 2    : ………………………
Ibu       : ………………………

Dasima tersenyum.

Puisi:
Perempuan rindu,
Tersenyumlah, agar muncul keajaiban
Karena kalian Cuma peran asuhan sutradara

Dasima            : Aku juga harus memakai susuk itu agar kecantikanku kembali.

Puisi:
Jangan sesali tapak tertinggal
Ia seperti jejak yang kaubuat
Tanda jika pingin lagi melihat
Atau sekadar mengingat
Panjang jalan
Yang pernah kaususuri
Kapan sampai ke senja tak bertepi?

Dasima keluar sambil tersenyum. Para ibu-ibu masih terus berbicara hingga beberapa waktu lamanya. Akhirnya, para ibu-ibu pun keluar.

ADEGAN VII
Dasima masuk membawa sebuah nyiru berisi dupan, susuk dan mangkuk tembaga berisi air kembang tujuh rupa. Dasima duduk. Ia mulai melakukan ritual dan merapalkan mantera. Diambilnya sebuah susuk dan ditusuknya tepat di keningnya. Ia lalu membasuh wajah dengan air kembang, dan seketika segala borok yang melukai wajahnya hilang dalam basuhan air kembang tujuh rupa.
Dasima tertawa.

Puisi:
Perempuan rindu, kapal yang dingin
Terpaut ke tepian hatimu
Ajak kauarungi laut
Mengenal bintang dan arah angin
Mengenal negeri mahanegeri
Tapi di tengah badai

Masuk sekumpulan ibu-ibu. Dasima sedikit terkejut. Sekumpulan ibu-ibu pun terperanjat saat mendapati wajah Dasima yang kembali cantik. Para ibu-ibu kembali mencibir dan mulai menyerang Dasima.

Puisi:
Kapal yang kaucoba selamatkan pun karam.
Nahkoda lingsir
Terombang-ambing tak bertuan
Kapal itu jarring nelayan yang haus
Terlalu banyak negak air di lautnya


Ibu 1    :  Rasakan ini, Dasima! (sambil menjambak rambut Dasima)
Ibu 2    : Jangan lagi kau coba-coba memikat hati suami kami dengan kecantikanmu!
Darsima mencoba berontak. Tetapi sia-sia.
Ibu 3    : Wajahmu tak pantas kembali cantik!
Ibu 4    : rasakan! Rasakan!

Setelah merasa cukup menyiksa Dasima, ibu-ibu itu pun berlalu. Dasima hanya bias meratap. Dendam dan amarah menguasai dirinya.

Puisi:
Terasa ada yang membakar rongga dada
Api di matamu musuh paling berbahaya
Mesti kaubunuh segera
Lalu menyeberang atau kembali pulang

Dasima            : Sialan! Lihat saja apa yang bias kulakukan untuk membalas perlakuan mereka padaku!
Dasima keluar.

ADEGAN VIII
Masuk lima orang lelaki yang tak lain adalah suami para ibu-ibu yang menyiksa Dasima. Dasi masuk. Mata para lelaki segera tertuju pada Dasima yang kembali cantik. Dasima segera memainkan perannya. Ia menggerling nakal dan menggoda mereka.

Puisi:
Perempuan rindu buka gerbang air mata
Pingin hapus duka-duka
Tersenyumlah, biar dekat jarak kalian
Sebab kau dan dia cuma kata di bibir luka
Para pujangga

Para lelaki mendekati Dasima. Tak diduga, muncullah para ibu-ibu. Mereka geram dan segera menyeret suami masing-masing pulang. Dasima tertawa puas sambil berlalu.

ADEGAN IX
Masuk lima orang pemuda berandalan. Mereka berbincang tentang Dasima, tentang permintaan dari ibu-ibu untuk memperkosa Dasima agar ia jera dan tak lagi menggoda suami mereka.
Pemuda 1        : ……………………….
Pemuda 2        : ……………………….
Pemuda 3        : ……………………….
Pemuda 4        : ……………………….
Pemuda 5        : ……………………….
Pemuda 2        : ……………………….
Pemuda 5        : ……………………….
Pemuda 1        : ……………………….


Muncul Dasima. Mata para lelaki segera tertuju pada Dasima. Mereka mendekati Dasima, merayu. Dasima yang merasakan ada bahaya, ingin segera berlari. Tetapi kekuatannya tak dapat dibandingkan dengan kelima pemuda yang segera menyergap Dasima. Dasima meronta. Tapi sia-sia.

Dasima hanya bisa menangis saat lelaki-lelaki yang memperkosanya pergi begitu saja.

Puisi:
Teremas di tangan penuh lusuh
Gurat tebalnya jurang rusuh
Juga tunggang gunung merah
Mengapa tanpa warna-warni di tanah?
Mengapa tanpa pelangi?

Masuk Jaka. Ia mencoba menenangkan Dasima. Dasima meronta karena ketakutan. Jaka terus berusaha membujuk perempuan yang dicintainya itu.
Jaka                 : Siapa? Siapa yang berani melakukan ini padamu? Katakan Dasima! Katakan!

Muncul kelima pemuda yang memperkosa Dasima.

Puisi:
Bersama kalian nikmati tanpa mesti
Berseteru atau hijaunya atas kuningmu

Dasima semakin ketakutan saat melihat mereka membawa kayu, pisau dan golok. Jaka tak gentar. Ia berdiri dan menghadang kelima pemuda itu. Dasima sempat menarik tangan Jaka ingin mencegah. Tetapi rupanya, kemarahan telah berkuasa di diri Jaka.
Kelima pemuda itu mengeroyok Jaka. Dasima menangis.

Puisi :
Air mata yang kaugali
Kelak bakal muncrat lebih banyak
Maka syukurilah lupamu pada siang
Di bening malam yang mengendap.

Jaka tak bergerak-gerak lagi. Sebilah pisau menancap di jantungnya. Kelima pemuda itu pergi sambil tertawa penuh kemenangan.
Dasima menangis dan memeluk tubuh Jaka. Ia meraung dan meratap. Hingga dirasanya lelah, Dasima perlahan mencabut pisau yang menancap di jantung Jaka. Pisau berlumur darah itu segera bersarang di jantungnya jua.

Puisi:
Kapal itu pecah
Tubuhmu mengaku kalah.



Postingan Unggulan

Memahami Makna Halal Bihalal (Pesan Kebaikan dan Keharmonisan dalam Tradisi Idul Fitri)

Memahami Makna Halal Bihalal:  "Pesan Kebaikan dan Keharmonisan dalam Tradisi Idul Fitri" Sumber Gambar: https://images.app.goo.gl...