27 April 2013

TUGAS KAJIAN PUISI karya Isbedy Stiawan ZS



Tugas
Kajian Puisi










Oleh
Eka Rahmady Hardianto













Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Palangkaraya
2013
Aku Tandai
Karya: Isbedy Stiawan ZS

aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak
yang tak akan pernah terhapus bilangan
sampai hapal benar
aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal
tubuhku sendiri

dari akar dan batang rumputan yang pernah kita
petik dulu, kini telah pula jadi pohon:
menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai
menggores tanda di tubuhmu       tahi lalat itu        yang
senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau

tahi lalat yang tumbuh dari dunia kanak-kanak itu
akan selalu kuingat, bahkan jadi bunga setiapkali aku
tertidur.
meski tak beraroma, akan kuhidupi pula lekuk dan
gerakmu dalam gerakku pula, lalu akan menari di antara
tanah yang subur bagi mekarnya perjalanan ini.

ya. Aku tandai tahi lalatmu yang masih kukenang dari
dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,
sebagaimana kita menyatu  dalam rumah tangga
besar. Lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis
dalam hidangan di piring saat pagi dan petang

Lampung, 2001













1. Mitos dalam Puisi Aku Tandai karya Isbedy Stiawan
       Tahi lalat merupakan sebuah aksesori wajah yang membantu mempermanis wajah kita. Tahi lalat bisa jadi momok yang berbahaya bagi kesehatan dan terkadang malah bisa membuat si empunya tahi lalat menjadi minder akibat tahi lalat yang terlalu besar pada tempat yang terbuka. Tahi lalat disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan abnormal dari sel pigmen di bawah kulit yang lebih dalam. Tiap orang mempunyai tahi lalat. Jumlahnya bervariasi antara 10 - 40, meskipun ada juga yang sampai mempunyai 100-an tahi lalat.
       Kebanyakan tahi lalat muncul dari bayi lahir hingga usia dua puluh tahun, tetapi ada juga yang muncul selama proses perkembangan janin. Orang yang sering berjemur di bawah terik matahari mempunyai lebih banyak tahi lalat. Dalam perkembangannya tahi lalat ini mula- mula agak berwarna gelap, kemudian membesar, dan mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda- beda. Ada yang berbentuk oval, ada yang bulat, ada yang ditumbuhi rambut, ada yang polos, ada yang berwarna cokelat, hitam, dan merah muda. Ada tahi lalat yang berbahaya, ada juga yang tidak.
       Jika tahi lalat Anda terasa gatal atau sakit, atau terus membesar atau berdarah, sebaiknya periksakan ke dokter, sebab ada kemungkinan tahi lalat ini berkembang menjadi kanker kulit. Disarankan juga agar tidak berjemur tanpa pelindung kulit di terik matahari lebih dari dua jam, karena sinar matahari dapat menambah kecenderungan kulit mengalami melanoma (kanker kulit).
       Mitos dalam puisi Aku Tandai  karya Isbedy Stiawan ZS adalah tanda, menjadi sesuatu yang vital di dalam keseluruhan perpuisian. Dalam kehidupan sehari-hari tentunya kita mengenal tanda, apalagi di dalam puisi yang menjadi dasar pembicaraan tulisan adalah Aku Tandai Tahi Lalatmu yang menjadi penanda dalam puisinya. Puisi tersebut menjelaskan bagaimana tahi lalat menjadi inti dalam puisi tersebut.

2. Kata yang Dominan
       Frasa yang dominan dalam puisi di atas adalah yang pertama adalah /tahi lalat/, karena terdapat dalam setiap bait dalam puisi tersebut. Kata dominan merupakan kata yang sering digunakan atau dipakai dalm puisi yang menjadi topik atau inti puisi.

/aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak
yang tak akan pernah terhapus bilangan
sampai hapal benar
aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal
tubuhku sendiri/
      
       Frasa ‘tahi lalat’ terdapat dalam larik pertama, bait pertama. Kalimat tersebut menjelaskan bahwa tahi lalat merupakan tanda yang dimiki anak - anak sejak kecil yang takkan pernah terhapus dalam lekuk tubuh sebagai ciri dari pemiliknya.

/dari akar dan batang rumputan yang pernah kita
petik dulu, kini telah pula jadi pohon:
menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai
menggores tanda di tubuhmu       tahi lalat itu        yang
senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau/

       Frasa ‘tahi lalat’ juga terdapat pada bait ke dua, baris ke tiga. Kalimat tersebut menjelaskan bahwa tahi lalat pada tubuh kita akan menjadi saksi perjalanan hidup kita, walaupun sampai kita merantau ke negeri atau daerah lain tahi lalat tersebut akan tetap menjadi ciri atau tanda pribadi pemiliknya.

/tahi lalat yang tumbuh dari dunia kanak-kanak itu
akan selalu kuingat, bahkan jadi bunga setiapkali aku
tertidur.
meski tak beraroma, akan kuhidupi pula lekuk dan
gerakmu dalam gerakku pula, lalu akan menari di antara
tanah yang subur bagi mekarnya perjalanan ini/

       Kata ‘tahi lalat’ terdapat pada bait ketiga, baris pertama. Pada kalimat tersebut menjelaskan bahwa tahi lalat yang tumbuh pada dunia anak-anak akan selalu diingat sampai meninggal dunia sekalipun. Meski tak beraroma, tetapi akan selalu teringat sampai kapan pun.

/ya. Aku tandai tahi lalatmu yang masih kukenang dari
dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,
sebagaimana kita menyatu dalam rumah tangga
besar. Lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis
dalam hidangan di piring saat pagi dan petang/

       Frasa ‘tahi lalat’ terdapat juga pada bait terakhir yaitu bait ke empat, baris pertama. Pada kalimat tersebut menjalaskan bahwa tahi lalat menjadi tanda dari dunia kana-kanak semua. Seperti sebuah album yang menyatu seperti sebuah keluarga besar yang saling mengenal satu dengan yang lain, seperti sebuah hidangan di sebuah piring yang dimakan secara bersama-sama.
3. Pendapat Para Ahli tentang Kumpulan Puisi Isbedy Stiawan
       Berikut ini adalah pendapat para pakar tentang kumpulan puisi karya Isbedy Stiawan ZS dalam bukunya penerbit Gama Media.
       1. Menurut Sutardji Calzoum Bachri : “ISBEDY Stiawan ZS (Bandar Lampung) bukan muka baru dalam perpuisian. Sejak 1987, karya-karyanya sudah muncul di media massa. Pengalaman belasan tahun dalam pergaulan kreatif menghasilkan sejumlah sajak-sajak menarik. Tampak ungkapan-ungkapan segar dalam sajaknya ditampilkan dalam susunan saling bersambung—mendukung membentuk secara halus lembut dan tersamar suatu gagasan pikiran atau perasaan ataupun kesan, dalam suatu krutuhan yang diharapkan dapat menjadi renungan dalam. Begitu pula obsesinya dalam menandai keperihan hidup yang traumatik ditranformasikan, menjadi suatu upaya untuk mencari dan meraih hikmah segar bagi nilai hidup dan kemanusiaan.”
       2. Menurut Maesa Ayu (Cerpenis) : “Membaca Kumpulan puisi aku tandai Tahi Lalatmu, banyak hal di dalam hatiku bagai menemukan pasangan hidupnya. Kebetulan pagi ini suasana hatiku sedang romantis. Mungkin bisa kutambahkan, puisi-puisi tahi lalat Isbedy amat romantis. Selain itu, kata –katanya pun sangat jernih. sebuah puisi tentang senar gitar yang putus dan pesawat telepon SCB yang memangil itu saja, tetaplah menjadi sebuah  puisi yang baik ketika penulisnya mampu mengomunikasikan dam tulisannya dengan pembacaanya. inilah salah satu yang kusuka dari kumpulan puisi Isbedy.
4. Sejarah Perjalanan Sajak-Sajak Isbedy Stiawan ZS
       Isbedy Stiawan ZS, (lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 5 Juni 1958) adalah sastrawan Indonesia. H.B. Jassin menjulukinya Paus Sastra Lampung. Sejak lahir hingga kini, Isbedy tinggal menetap di Bandar Lampung. Selain menulis karya sastra (cerpen, puisi, esai sastra), kini dia aktif di Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Isbedy mulai bersentuhan dengan dunia sastra sejak bangku SMP tahun 1975. Karya-karya Kho Ping Hoo adalah bacaan yang saat itu digemarinya. Sebelum terkenal sebagai penulis, ia tekun bertaeter bersama Syaiful Irba Tanpaka dan A.M. Zulqornain dalam Sanggar Ragom Budaya. Ketika STM, dia mulai menggeluti sastra, yaitu menulis puisi dan cerpen. Dia kerap membacakan sajaknya dari panggung ke panggung. Sejak itu puisi, cerpen, dan esainya mengalir deras dan dimuat di berbagai media lokal dan nasional.
       Umumnya, proses kreatif puisi Isbedy lahir setelah ia menemukan kata-kata puitis terlebih dahulu, lalu diolah menjadi puisi. Ide kreatifnya bisa muncul kapan saja, saat perjalanan, merenung di waktu malam atau langsung di depan komputer.
Dia pernah diundang mengikuti berbagai kegiatan sastra di berbagai kota di Tanah Air, Malaysia, Thailand seperti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Bahru dan Kedah (Malaysia), Dialog Utara di Thailand, Utan Kayu Literary Festival, dan Ubud Writers and Readers International Festival.
       Isbedy mungkin satu- satunya penyair yang sangat produktif. Bahkan bila dibandingkan dengan semua penyair Indonesia, mungkin hanya Isbedy yang paling banyak menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal. Kadang- kadang, tidak sampai lima puluh puisi telah diterbitkan menjadi buku. Tahun 2003 terbit buku Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gema Media), yang hemat saya inilah buku kumpulan puisi Isbedy yang menampilkan puisi-puisi paling kuat. Tahun 2005 ada seratus buah puisinya yang ditulis dalam rentang tiga dekade 1980-an sampai 2000-an, yang diterbitkan oleh Grasindo dengan judul Kota Cahaya. Dalam buku ini tampak sekali perubahan-perubahan puisi Isbedy. Puisi yang ditulis era 1980-an menampilkan puisi-puisi religius.
       Beberapa waktu lalu terbit kembali buku himpunan puisi Isbedy dengan judul Setiap Baris Hujan (BukuPop, Jakarta (2008) dan Anjing Dini Hari (2010). Dalam dua buku terakhir terdapat sajak-sajak protes yang kering. Kalau dalam buku Aku Tandai Tahi Lalatmu muncul sajak-sajak sosial yang tidak verbal, yang menggugah dan memantik, maka sajak-sajak sosial dalam buku Setiap Baris Hujan mulai abai pada pengucapan yang jernih dan jatuh pada pengucapan yang terang-benderang.  Sajak-sajak tahi lalat yang jernih, seperti Aku Tandai: ”aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak yang tak akan pernah terhapus bilangan sampai hapal benar pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal tubuhku sendiri”. Menyimak sajak-sajak Isbedy dalam analekta Setiap Baris Hujan, memang tak semuanya jelek. Beberapa sajak yang tak membawa pesan moral eksplisit justru menggoda perhatian saya. Isbedy tampaknya sangat teruit pada kata-kata, walau pun kadang-kadang ia tak berdaya oleh kehadiran kata-kata, histeria dirajam oleh kata-kata. Hal itu mungkin karena dalam sajak-sajak Isbedy, kata tak ubahnya gelombang yang bagaikan benang-benang intuitif yang memintal kandungan maksud dengan cara membuka diri kepada pembaca. Sajak-sajaknya mengusung kemaknaan dengan maksud ingin berbagi, tidak sebagaimana sajak-sajak mahagelap yang anti-kata.
       Membaca sajak-sajak Isbedy terasa bahagia jika menyelam kandungan maknanya, ketimbang bersibuk-ria mempersoalkan tipografi dan gaya karena sangat biasa. Mungkin karena pengaruh bencana yang bertubi-tubi menimpa negeri ini, maka dalam buku puisi Isbedy sejak Kota Cahaya hingga Setiap Baris Hujan akan kita temukan gempa kata dan tsunami makna. Bahkan di sana ada bahala yang menimpa berbagai negeri yang membuat orang banyak celaka, yang dihadirkan lewat kacamata ingin bermakna.
       Dialektika kata dengan makna dan peritiwa tidak lain adalah suara. Kata menghadirkan dirinya, membentuk sebuah kemaknaan, dan pada kedalaman kemaknaan itu, sang penyair tidak pernah kembali pada kata-kata ini, melainkan menuju suatu benda yang dirujuk, baru kemudian kata tersebut dilepas dengan aturan main. Akan tetapi ada bedanya dengan imaji. Dalam kasus imaji, intensionalitas justru berbalik pada lukisan imaji yang menyelubungi makna secara konstan. Imaji, tidak lain seperti halnya dalam suatu kesadaran sang penyair.
       Di sini jelas bahwa Isbedy tidak terpengaruh oleh postmodernisme yang menggejala sejak 1990-an di negeri ini. Ia tetap intens menghayati kata, menakik struktur kata, dan sajak-sajaknya tidak hendak berada dalam menara epistemologi eksistensial dengan menghadirkan imaji, tetapi masuk ke kandungan makna melalui teruit kata-kata. Puisinya membangun rima dan bunyi hidup sebagaimana kebanyakan sajak liris. Tapi apakah cukup hanya dengan membuat kegaduhan bunyi subkultur atau bahana-bahana keras kepala agar menjadi resistensi. Sajak-sajak Isbedy tampaknya menjawab: tidak. Puisi-puisinya tak membahana oleh tekanan suara yang teratur, tapi ada suatu maksud dan ”nilai” yang sampai. Dengan maksud yang tegas, dan tak jarang menampilkan asosiasi yang mengajak pembaca untuk mencari referen ke sana-kemari, Isbedy berhasil memunculkan renungan yang sadar diri untuk tak hendak mengejar kebaruan, meski pun ada kata-kata yang sudah khas jadi milik sang penyair. Tak ada bunyi yang tanpa makna, karena dalam puisi bunyi memang seperti gema kemaknaan itu sendiri, dan rasa yang ditimbulkannya pun muncul secara bersama dengan rimanya. Aku lirik terjun dari kekosongan pencarian menuju bumi dan sumber-sumber literer untuk menemukan bahasa biasa saja lagi.
       Isbedy banyak menampilkan perumpamaan hujan sebagai kilatan ras rindu eksistensial. Hujan puisi Isbedy terasa rimis oleh kelebat awan kata-kata. Isbedy menjelma seorang pemain di lapangan hujan kata-kata, yang di awal kemunculannya dianggap sebagai penyair terdepan di Lampung, tapi kini ia harus ”bersaing” ketat dengan penyair-penyair lain yang menantang kata-kata.
       Keintimannya menjadikan kata sebagai alat tak lagi menghiraukan kalau bahasa dan gramatikanya kepeleset, tergelincir, karena hal ini erat hubungannya dengan kreativitas. Sajak-sajaknya menampilkan kristalisasi dari kata, tapi belum cukup untuk melukiskan seribu tahun dalam kesunyian.
       Semantik dari kata begitu dominan. Kata sebagai alat muncul bertubi-tubi, dan ini bukan sesuatu yang haram dalam sajak mutakhir. Sejak puisi lirik hadir sebagai salah satu genre puisi yang dirayakan banyak penyair di negeri ini, kehadirannya tak bisa menghindar sepenuhnya dari godaan subjek kata yang menekankan kesadaran tentang manusia dan alam raya. Dengan lirik Isbedy berusaha melukiskan dan mengungkapkan makna secara ilustratif. Pembaca dengan mudah bersua dengan renungan kemanusian.
      




Postingan Unggulan

Memahami Makna Halal Bihalal (Pesan Kebaikan dan Keharmonisan dalam Tradisi Idul Fitri)

Memahami Makna Halal Bihalal:  "Pesan Kebaikan dan Keharmonisan dalam Tradisi Idul Fitri" Sumber Gambar: https://images.app.goo.gl...