04 Maret 2011

CONTOH MAKALAH BAHASA DAYAK NGAJU


TUGAS MAKALAH
BAHASA DAYAK NGAJU
“Tentang sejarah bahasa Dayak  dan Pepatah dalam bahasa Dayak”

Unpar.BMP

Disusun Oleh :  
Eka Rahmady Hardianto       



PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2010





Kata Pengantar

Puji dan Syukur Kami Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat Rahmat- Nyalah kami bisa menyusun makalah mata kuliah bahasa Dayak Ngaju yang membahas tantang sejarah bahasa dayak, bahasa dayak Ma`anyan dari daerah barito menurut para ahli dan pengelompokkan bahasa Dayak menurut Alfred Becon Hudson
Semoga dengan adanya makalah ini, dapat memberi pengetahuan atau wawasan kita semua. Kita menyadari makalah yang disusun,  jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan. Agar lebih baik nantinya.

Palangkaraya,  November 2010
                                                                                       Penyusun,

                                                                                        Kelompok III






DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB      I           PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan masalah
C.     Tujuan  penulisan
             BAB     II         PEMBAHASAN
A.          Sejarah Bahasa Dayak menurut para ahli
a.          Keaneragaman Etnik
b. Kategori orang dayak
c.  Pengaruh budaya lain
B.           Menurut pendapat Alfred Becon Hudson tentang pengelompokan bahasa Dayak
C.           Klasifikasi tentang bahasa dayak Ma`anyan dari daerah sepanjang sungai Barito
D.          Pepatah bahasa Dayak Ngaju tentang kebijaksanaan dan perangai manusia
                                    BAB     III        PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tidaklah mudah berbicara tentang kebudayaan Dayak,  yang mencakup lebih dari 450 suku yamg tersebar di seluruh Kalimantan ini. Termasuk mereka yang ada di Negara tetangga seperti Malaysia. Namun banyak penelitian yang telah diadakan mengenai suku-suku Dayak di Kalimantan ini kita berkesimpulan bahwa tidak ada pulau basar lain di Indonesia ini yang dapat dikatakan memiliki semacam kesatuan Budaya seperti Kalimantan.
Suatu hal yang tidak boleh kita lupakan apabila kita berbicara  tentang kebudayaan suku, tidak mungkin kita menganggapnya sebagai sesuatu yang masih utuh, lengakap tanpa perubahan. Karena kita tahu tidak ada kebudayaan yang tidak mengalami perubahan, apabila dengan kian majunya perkembangan nasional ditambah lagi denagn arus gelombang globalisasi
B.                        Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang kita bahas dalam makalah adalah sebagai berikut :
1.   Bagaimana sejarah bahasa Dayak dan latar belakanganya
2.   Bagaimana pendapat Hudson, tentang pengelompokan bahasa dayak
3.   Bahasa dayak ma`anyan untuk mewakili salah satu dari contoh bahasa Dayak
4.  .Bagimana pepatah bahasa Dayak tentang kebijaksanaan dan perangai manusia



C.  Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan penulisan makalah ini diantaranya adalah sebagai berikut :
1.   Untuk memenui tugas mata kuliah Bahasa Dayak Ngaju
2.   Untuk mengetahui sejarah bahasa Dayak.
3.   Untuk mengetahui pengelompokan bahasa Dayak menurut hudson
4.   Untuk mengetahui klasifikasi bahasa Dayak dan tentang bahasa  Dayak  Ma`anyan
5.   Untuk mengetahui pepatah bahasa Dayak tentang kebijaksanaan perangai manusia


BAB II
PENBAHASAN
A.  Sejarah bahasaa Dayak
Penduduk asli (indigenous people) Pulau Kalimantan adalah suku Dayak. Mereka tersebar di berbagai bagian di Pulau Kalimantan, sebagian berada di wilayah Republik Indonesia yaitu wilayah administratif Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dan sebagian lainnya berdiam dalam wilayah Negara Malaysia dan Berunei. Mereka itu ada yang bermukim di kawasan dekat dengan pantai, di muara atau percabangan anak sungai dengan sungai besar, dan sebagian lainnya berdiam di hulu sungai-sungai besar dan kecil di daerah pedalaman. Keberadaan mereka di pulau ini, telah melewati rentang sejarah yang panjang. King (1993) memperkirakan manusia Dayak telah menghuni pulau Kalimantan sekitar 35.000 tahun.
Pada saat mendengar istilah orang Dayak, kesan pertama yang muncul di benak kita adalah kebiadaban, yaitu kelompok masyarakat tradisional yang masih belum beradab, belum memiliki prikemanusiaan. Munculnya pemikiran seperti ini disebabkan orang Dayak dikenal dengan budaya pengayauan (headhunting). Budaya pengayauan yang menurut Wyn Sargent (1974) masih dipraktekkan di kalangan suku bangsa Dayak hingga tahun 1970-an, dan disusul lagi oleh berbagai kasus konflik antar etnis di Kalimantan Barat (1999) dan Kalimantan Tengah (2001).
             Dayak adalah sebuah nama dan sekaligus sebagai ciri identitas etnis bagi suku bangsa proto Melayu (Melayu Tua) yang diklaim sebagai penduduk pribumi pulau Kalimantan, termasuk Kalimantan Utara. Berdasarkan sejarah perkembangan manusia, nenek moyang suku bangsa Dayak berasal dari daerah Yunan (Cina Selatan). Diperkirakan sekitar awal abad ini terjadi over population di Cina sehingga sebagian penduduk ke luar untuk mencari daerah permukiman baru. Di antaranya setelah menyeberang laut Cina Selatan mereka terdampar di pulau Kalimantan. Awalnya profesi mereka adalah sebagai penambang emas di Kalimantan Barat, namun kemudian sebagiannya beralih profesi sebagai pekebun, petani, pedagang, dan nelayan. Pada perkembangan selanjutnya, datanglah kelompok Deutro Melayu ke pulau Kalimantan yang tujuannya adalah berdagang dengan menggunakan kapal-kapal kecil. Akibat gelombang migrasi secara besar-besaran dari kelompok Deutro Melayu, kelompok Proto Melayu yang awalnya tinggal didaearh pesisir, semakin terdesak ke daerah pedalaman yang kemudian di kenal dengan suku bangsa Dayak, dan mereka yang tinggal di daerah pantai/pesisir disebut sebagai orang Melayu.
a. Keaneragaman Etnik         
            Konsep masyarakat majemuk atau keanekargaman (plural societies) pertama kali dikemukakan oleh J.S. Furnivall sebagai hasil penelitiannya pada masyarakat di wilayah kekuasaan Hindia Belanda pada waktu itu yaitu Indonesia dan Birma. Furnivall (1967) mengemukakan bahwa masyarakat majemuk yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua elemen atau lebih yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Menurut Veplun (2001) bahwa ciri utama masyarakat beragam etnik adalah orang-orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial budaya, maka dalam beberapa aspek kehidupan tampak terpisah secara fungsional dalam satuan sosial, ekonomi, politik, budaya dan adat-istiadat.
            Dalam pada itu, dengan kemajuan teknologi transportasi yang semakin meningkat, maka telah mendorong mobilitas orang pergi dari daerah asal dan menetap di daerah yang baru. Konsekwensi atas ini adalah dapat mempercepat keanekragaman etnik dalam suatu daerah tertentu. Demikian juga halnya dengan Pulau Kalimantan yang dulu lebih dikenal dengan Berneo pada awalnya hanya dihuni oleh etnik Dayak yang merupakan penduduk asli pulau ini. Namun dalam perkembangan selanjutnya pulau ini telah dihuni oleh berbagai macam etnik. Menurut Akil (1994) bahwa kelompok etnik selain penduduk asli (Dayak) yang merupakan penduduk pendatang di Pulau Kalimantan antara lain Melayu, Cina, Madura, Bugis, Jawa, Batak, Sunda, Padang dan Banjar. 
               Proses perkawinan campur antara penduduk asli Dayak dengan etnik pendatang dalam perekembangannya tidak hanya terbatas pada etnik Melayu dan Dayak saja, tetapi banyak terjadi dengan etnik pendatang lainnya seperti Jawa, Madura, Batak, Timor. Melalui proses hubungan perkawinan antar etnik yang ada di Kalimantan ini tampaknya makin menambah keanekaragaman etnik di daerah ini. 
b. Kategori orang Dayak
               Dalam berbagai perpustakaan, terdapat keragaman penyebutan penduduk asli pulau Kalimantan ini. Julipin (1987) dan Widjono (1998) menyatakan setidaknya terdapat empat sebutan yakni “Daya, Dyak, Daya dan Dayak”. Pada hal mereka lebih mengenal dirinya sendiri sebagai Benuaq, Kenyah, Punan, Bahau dan lainnya, yang sebutan itu berdasarkan nama stammenras, atau tempat tinggal dari kelompok. Senada dengan itu, menurut Zulkarnaen (2000) mereka pada mulanya tidak mengidentifikasinya sebagai Dayak. Dayak adalah label yang diberikan oleh kelompok lain. Diri mereka sendiri umumnya mengidentifikasikan nama suku, yaitu dengan menyebutkan nama sungai mereka bermukim. Anyang (1996) menyebut nama Dayak ”Taman” sebagai istilah untuk menunjukkan keseluruhan masyarakat suku ini yang menghuni daerah.  Pada hal menurut  Mjoeberg (dalam Coomans, 1987) bahwa nama Dayak merupakan nama bagi segala penduduk lain di pedalaman, yang tidak beragama Islam, sedangkan Coomans (1987) mengartikan Dayak itu adalah orang yang mendiami daerah hulu sungai. Coomans mencontohkan dalam beberapa bahasa daerah “Dayak” itu berarti hulu, seperti Mahakam Dayak yang artinya Mahakam Hulu. Demikian menurut bahasa Benua, Tunjung, dan Kutai. Arti yang sama juga di temukan pada beberapa bahasa daerah di Kalimantan Tengah. Tetapi ada juga yang memberi pengertian lain bagi kata “Dayak”, diantaranya Tjilik Riwut mantan Gubernur Kalimantan Tengah yang menyatakan bahwa kata “Dayak” berarti cantik dan gagah perkasa tidak kenal menyerah (Idram, 1989).
               Pada awalnya penduduk asli Kalimantan ini tidak menerima di sebut Dayak, menurut Lontaan (1975) istilah Dayak merupakan penghinaan yang mengandung pengertian mengejek atau merendahkan. Pandangan ini berubah menurut Akil (1994) ketika lapisan non elit dari suku Dayak sudah dapat mengenyam pendidikan Tinggi, berpikir kritis dan memiliki wawasan luas. Bahkan Coomans (1987) mensinyalir bahwa akhirnya mereka mau menerima sebutan Dayak, disebabkan timbul kesadaran akan pentingnya suatu nama kesatuan yang dapat mengikat dan menjadi naungan bagi seluruh komunitas atau kelompok-kelompok lokal yang heterogen yang digunakan untuk membela kepentingan bersama, baik di bidang kebudayaan, ekonomi maupun politik. 
               Satu studi yang perlu waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau menolak anggapan bahwa suku Dayak adalah keturunan kelompok imigran Proto Melayu dan suku Melayu adalah termasuk kelompok pendatang Deutro Melayu yang datang kemudian. Kategori kelompok demikian mengandung ketidak pastian karena bukti-bukti yang ada kurang memadai. Sebagai istilah antropologi, yang jelas bahwa sebutan umum suku bangsa Dayak tidak dapat digunakan untuk menunjuk pada satu kelompok yang secara sosio-religius dan kultural adalah sama. Mereka dinamakan suku bangsa Dayak terbukti merupakan banyak komunitas dengan latar belakang pelbagai kebudayaan yang berbeda (Mudiyono, 1990). 
               Dengan demikian adalah semakin sulit untuk menerangkan secara etnografi, sesungguhnya siapa yang di sebut orang Dayak. Namun yang jelas menurut Alif (1993) bahwa orang Dayak memiliki sikap hidup yang sangat sederhana, monoton, kurang kreatif dan tidak berani mengambil inisiatif. Lebih banyak menunggu, pasrah, menerima nasib, banyak mengalah, mengharapkan belas kasihan orang lain, lugu dan polos. Cepat puas, kurang atau sedikit jiwa bertarung atau kompetisi. Melihat sesuatu secara lurus saja, tanpa memandang liku-likunya. Berdasarkan hasil penelitian Zulkarnaen terhadap orang Dayak yang bertempat tinggal di perkampungan pedalaman Kalimantan Barat, menemukan bahwa karakter umum orang Dayak adalah campuran antara pendiam, jujur dan lugu, tidak banyak bicara dan tidak mudah mengobral janji atau pembicaraannya (Zulkarnaen,2000). 
               Namun demikian bukan berarti orang Dayak tidak memiliki keberanian melawan pihak lain, orang Dayak akan kecewa, marah, dendam, jika berkali-kali dibohongi. Fakta akhir-akhir ini berupa semakin acap kali terjadi bentrokan antara orang Dayak dengan penduduk pendatang yang mengelola proyek pembangunan ataupun pendatang yang bekerja di sektor pertanian dan kehutanan, menurut hasil penelitian Zulkarnaen menunjukkan bahwa orang Dayak dapat bersikap keras jika merasa adat terus menerus dilecehkan, nasib yang terpuruk, diperlakukan tidak adil. Kondisi demikian semakin menumbuhkan sikap orang Dayak merasa sekaum, senasib, dan menumbuhkan etnosentrisme (Zulkarnaen, 2000). 
               Orang Dayak selalu menerima pada segala hal yang bertalian dengan pihak luar. Salah satu sifat Dayak adalah tidak curiga pada pihak luar yang datang, terlebih pada mereka yang baru dikenal, bahkan musuh sekalipun harus diperlakukan dengan baik jika berada di rumah, setelah keluar halaman rumah baru dapat dijadikan musuh, hal demikian sesuai dengan ketentuan adat. Orang Dayak cenderung mudah percaya pada tamu dan menyerahkan nasib diri pada mereka yang dinilai “baik”. Di masyarakat Dayak Kanayant di Kalimantan Barat dikenal ungkapan ahe-ahe ja toke (terserah toke, saudagar atau bos saja). 
c. Pengaruh budaya lain        
    Sejak abad keempat daerah Borneo yang kini di sebut Kalimantan telah berdiri sebuah kerajaan Hindu di daerah Kutai, Kalimantan Timur (Coomans, 1987; King, 1993). Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukan batu bertulis peninggalan Hindu di Muara Kuantan daerah Kutai di Pantai Timur Kalimantan. Kemudian ditemukan peninggalan zaman Hindu juga diberbagai daerah di Kalimantan yang berupa antara lain batu besar berbentuk piramida tertutup bertuliskan dalam bahasa Sanskerta di Batu Pahat (dekat Sungai Tekarek, anak Sungai Kapuas Kalimantan Barat) yang dibuat akhir abad keempat atau permulaan abad kelima setelah Masehi, “lingga” (phallus) yang merupakan salah satu lambang agama Hindu Syiwa di Nanga Balang (Kapuas Hulu), batu berbentuk buah labu di Sintang dan batu kalbut di Nanga Sepauk (King, 1993; Anyang, 1998).                                                    Kerajaan Hindu kemudian menjadi lenyap karena dikalahkan oleh kedatangn Islam dan penduduk yang sebelumnya beragama Hindu kemudian beragama Islam, termasuk Dayak yang masih menganut agama nenek moyang yang daerahnya di kuasai sebagai akibat dari kedatangan Islam (Anyang, 1998). Kedatangan Islam ini menurut Mallinckrodt (1928) adalah disertai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh Sultan atau Panembah. Melalui perluasan daerah kekuasaan kerajaan-kerajaan itu dan para pedagang Melayu, agama Islam semakin tersebar di antara orang Dayak, menurut Sellato (1989) kira-kira 90 % dari yang dinamakan Melayu adalah orang Dayak yang sudah masuk Islam. King (1993) dan Anyang (1998) juga mencatat bahwa pada umumnya nenek moyang orang Melayu yang kini terdapat di Brunei, Sarawak, Kapuas, banjar, dan Kutai adalah orang Dayak yang masuk Islam.
            Orang Cina juga sudah lama datang dan bertempat tinggal di Kalimantan. Mereka pada mula datang adalah untuk mengusahakan tambang emas di daerah Kabupaten Sambas dan berdagang, tetapi kemudian banyak yang menetap bahkan ada yang kawin dengan penduduk asli yaitu orang Dayak (Anyang, 1998). Menurut catatan Enthoven (1903) bahwa pada tahun 1894 datang orang Cina Singkeh (asal kata Sin-ke, artinya tamu baru) sebanyak 306 orang melalui Singapura, sebagian besar tinggal di Pontianak dan Kota Baru.
            Menurut Tangdililing (1984) adanya unsur-unsur atau peninggalan kebudayaan Cina dalam masyarakat Dayak menunjukkan bahwa hubungan antara orang Dayak dengan orang Cina telah berlangsung sejak lama. Dalam penggunaan bahasa, banyak istilah atau kata yang bersumber dari bahasa (Cina) Khek yang digunakan oleh orang Dayak, yang dianggap sudah milik mereka mulai dari nama perabot rumah tangga sampai pada nama orang, seperti cung (gelas), po sut (korek api), sedangkan nama orang, Ahiong, Aliang dan Aheng. Begitu juga dengan nama-nama daerah seperti Pak Unam (Pakuman), Liongkong (Lie Ong Khong), dan Tainam (Tai Nam) di Kabupaten Sambas dan Pontianak pada umumnya berasal dari bahasa Cina.
            Kebiasaan menikmati minuman keras, seperti arak di kalangan orang Dayak, menurut Tangdililing (1984) pada mulanya merupakan kebiasaan orang Cina, akan tetapi lambat laun kebiasaan tersebut berpengaruh terhadap orang Dayak melalui pergaulan yang berlangsung di antara mereka. Selain itu, menurut Djuweng (1996) sejumlah besar kaum tua Cina dan Dayak percaya bahwa pada masa lalu terjadi asimilasi secara besar-besaran antara orang Dayak dan Cina. Ketika arus imigran Cina masuk ke Kalimantan, mereka sebagian besar terdiri dari laki-laki, karena untuk perjalanan laut yang sedemikian jauh tidak mudah mengikutsertakan wanita. Kemudian para lelaki Cina itu menikah dengan wanita suku Dayak. Proses asimilasi semacam ini masih terjadi sekarang, meskipun berlangsung dalam skala kecil, dan tidak hanya laki-laki Cina menikahi gadis Dayak, tetapi juga terjadi sebaliknya. Berkembangnya ajaran Kristen di kalangan masyarakat Cina dan Dayak kemudian memperlonggar sekat-sekat budaya, sehingga perkawinan antar kedua etnik itu menjadi hal yang lumrah.


B. Menurut pendapat Alfred Becon Hudson tentang pengelompokan bahasa Dayak
             Satu hal yang jelas, Kalimantan menunjukkan percampuran dari beberapa kelompok etnik yang memiliki asal mula berbeda.
Menurut Hudson (1978), kelompok bahasa barito merupakan salah satu bagian dari sup kelompok linguistic dimana bahasa asli Kalimantan berasal.
             Hudson mengelompokkan bahasa Kalimantan menjadi 7  kelompok endo-borneo (Tanah Dayak, Rejang-beram, Kenyah- Kayan, Apo Duat, Barito Barat, Barito Mahakam, dan Barito Timur. Sedangakan 3 kelompok exo, yakni Malayik Dayak (Melayu, Minangkabau, dan Banjar) Tamanik merupakan bahasa yang paling erat kaitanya dengan bahasa Sulawasi dan Sabahan erat kaitanya dengan sup kelompok bahasa Filipina.
             Menurut Hudson, kesepuluh kelompok itu setidaknya berbeda satu sama lain karena mereka berasal dari sup kelompok linguistic Malayo-Polinesian (Non-Bornean), dan kelompok Exo-Bornean yang berhubungan dengan bahasa-bahasa non- Kalimantan.
C.    Klasifikasi tentang bahasa Dayak  Ma`anyan dari daerah sepanjang sungai Barito
Maanyan adalah nama salah satu sub suku bangsa yang mendiami Pulau Kalimantan, yang sekarang bermukim di kawasan subur di antara sungai Barito dan Pegunungan Meratus, meliputi sebagian wilayah Utara Propinsi kalimantan Selatan dan daerah Timur Propinsi Kalimantan Tengah, tersebar di lebih dari 15 Kecamatan (walau ada pecahan dayak Maanyan yang mendiami wialyah Kalimantan timur di kabupaten Paser, perbatasan Kalselteng tim).  Pada umumnya orang Maanyan bertubuh sedang, berkulit putih sampai kecoklatan, rambut lurus berwarna hitam atau coklat kehitaman, dan beralis agak tebal. Sebagai suatu kelompok masyarakat, orang Maanyan memiliki beberapa ciri sosial budaya yang unik dan menarik.
Pertama, orang Maanyan memiliki bahasa daerah yang sangat dekat ke bahasa Kawi (Jawa Kuno). Dan Dalam bahasa maanyan ini, walaupun mereka kini bermukim jauh dari lautan, terdapat banyak kosa-kata tentang laut dan berhubungan dengan laut. Tokoh-tokoh mereka bergelar datu (sama dengan datuk dalam bahasa Melayu, yang artinya:bapak dari kakek), patis (bahasa Melayu patih), dan miharaja (sama dengan: maharaja). Mereka menyimpan benda-benda pusaka yang berusia ratusan tahun, berupa piring keramik ukuran besar yang bergambar, guci keramik dengan relief naga, tabak (nampan berbentuk bunga) dari kuningan, gong dan gelangdari gangsa, tombak dan keris, dan pakaian kebesaran mirip pakaian Jawa. Sedangkan dalam ritus kematian, mereka memiliki kesamaan dengan adat Bali, yaitu melakukan upacara pembakaran tulang-tulang orang mati untuk mengantarkan roh mereka ke tempat paling akhir, yang dalam bahasa maanyan disebut: Ijambe. (Ijambe berasal dari awalan I berkonotasi ‘sibuk’ dan kata kerja jambe yang berarti ‘menangani’.
Kedua, mereka mempunyai kebiasaan menuturkan ‘sejarah masa lalu dan adat-istiadat’ (bahasa Maanyan: taliwakas) mereka pada setiap upacara adat penting. Istiadat menceritakan kembali sejarah dan adat ini disebut orang Maanyan ngalakar, atau ngentang atau nutup entang, atau nutup tarung. Selain taliwakas, mereka juga mempunyai banyak cerita-cerita, berupa legenda, balada, dan lagu-lagu tentang kebesaran dan kemakmuran mereka di masa lalu, tentang tokoh-tokoh sejarah, disebuah ‘kerajaan’ (kecil) yang menurut mereka bernama Nansarunai.
D. Pepatah-pepatah bahasa Dayak Ngaju tentang kebijaksanaan dan perangai manusia.
v     Buju-bujur ikoh aso (Lurus selurus ekor anjing).
Rimae (artinya): Tampayahe bahalap padahal pananjaru (Nampaknya baik, tapi nyatanya pembohong).
v     Bisa bulue dia belange (Basah kulit tidak belangnya).
Rimae (artinya): Taloh gawi je dia mandinun hasil (Pekerjaan yang tidak mendatangkan hasil).
v     Baka-bakas bua rangas (tua-tua buah rangas).
Rimae (artinya): Oloh jadi bakas baya gawie kilau anak tabela(Walau pun sudah tua, tapi kerjanya seperti anak-anak).
v     Karas nyaho jaton ujan (Deras petir tanpa hujan).
v     Kalah batang awi sampange (kalau sungai karena anak sungainya).
Rimae (artinya): Nihau tintu je solake tagal panggawi rahian.
(Hilang arah semula karena ulah yang kemudian).
v     Dia tau pisang handue mamua (Pisang tak bisa berbuah dua kali).
Rimae (artinya): Kabakas tuntang kagancang dia tau haluli akan tampara.
(Kedewasaan dan kekuatan tak bisa kembali ke awal).
v     Tingang manganderang into bitie (Enggang menggema di dalam tubuhnya saja).
Rimae (artinya): Tamam pander baya jaton gawie (Hebat omongnya saja, tanpa kerja).
v     Ampit manak tingang(Pipit beranak enggang).
Rimae (artinya): Oloh je tau menggatang tarung oloh bakase.
(Seseorang yang bisa mengangkat martabat orangtua).
Rimae (artinyanya): Are pander jatun katotoe (besar mulut tanpa bukti).


Berbagai perangai manusia di dalam pepatah dan ungkapan juga tercermin, misalnya :
v     Aku raja aku tamanggung aku damang(Saya raja, saya temenggung saya damang).
Rimae (artinya): Dia maku marandah arep awi keme arepe oloh hai.
(Tidak mau rendah hati karena merasa dirinya orang besar).
v     Duan kulate ilihi batange (Ambil jamur tinggalkan pohon).
Rimae (artinya): Baya handak kamangate, pehe dia hakun.
(Mau enaknya saja, sakitnya tidak mau).
v     Lepah anise kuas inganan (Habis manis sepah dibuang).
Rimae (artinya): Amon tege gunae inyayang, amon dia palus inganan.
(Saat berguna disayangi, saat tak berguna dibuang)





BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
               Bahasa asli Kalimantan adalah bahasa dayak. Bahasa tidak lepas bari kebudayaan yang telah ada di Kalimantan. Bahasa tersebut terbagi menjadi beberapa 10 kelompok bahasa menurut Hudson. Bahasa tanah dayak memiliki beberapa kemiripan leksikal dan fonologi yang berasal dari hasil pergantian bahasa aslinya yaitu bahasa Austronesia.
B. Saran
               Sebagai masyarakat yang memiki kebudayaan dan bahasa yang beraneka ragam, kita semua wajib untuk melestarikannya. Janganlah kita melupakan budaya dan bahasa yang kita miliki, karena dengan begitu budaya dan bahasa kita dapat menjadi identitas hidup kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku Suka Blog Anda

Postingan Unggulan

Memahami Makna Halal Bihalal (Pesan Kebaikan dan Keharmonisan dalam Tradisi Idul Fitri)

Memahami Makna Halal Bihalal:  "Pesan Kebaikan dan Keharmonisan dalam Tradisi Idul Fitri" Sumber Gambar: https://images.app.goo.gl...