Irigasi Otomatis

Di Desa Sungai Andai, tepi Sungai Mimpi, Provinsi Fiksi, Tama bergelut dengan kabel-kabel di teras rumahnya.  Aroma solder dan tanah basah bercampur.  Arif, anak nelayan, datang sambil menyeka keringat.
 
"Tama, lagi ngapain? Kayak lagi perang sama gurita listrik aja, berdebu gitu!" Arif tertawa, melihat Intan yang rambutnya kusut dan wajahnya berlumuran debu.  Suara riuh pasar terapung terdengar samar.
 
Tama tersenyum, tapi matanya menunjukkan keraguan. "Hampir jadi, Rif! Radio kakek mau nyala lagi! Tapi... aku nggak yakin bisa.  Rasanya terlalu sulit."  Keraguannya tersirat dalam suaranya.
 
Budi, anak pedagang kain batik, muncul. "Tam, mending bantu Ibu. Uang lebih penting daripada radio tua itu.  Lagian, bahaya juga tuh kabel-kabel!  Ibu bilang, belajar jahit lebih bermanfaat.  Lebih pasti masa depannya."  Budi menyentil langsung kelemahan Tama: kurangnya keyakinan akan masa depan.
 
Caca, seniman desa, datang sambil membawa buku sketsanya. "Iya, Tam. Lebih baik kau lukis pemandangan Sungai Mimpi. Lebih menenangkan daripada berurusan dengan kabel-kabel itu.  Lihat, ini sketsa terbaru aku, perahu-perahu nelayan di pagi hari.  Lebih bermakna, lebih nyata hasilnya."  Caca menyoroti ketidakpastian hasil usaha Tama.
 
Tama menghela napas, suaranya bergetar. "Ini bukan cuma radio, guys. Ini tentang belajar teknologi.  Bayangkan, kita bisa bikin sesuatu yang berguna buat desa kita!  Apalagi saat musim kemarau, sawah kita sering kekeringan.  Tapi... aku merasa bodoh.  Aku takut gagal.  Aku nggak secerdas teman-teman."  Keraguannya bukan sekadar keraguan, tapi perasaan tidak mampu.
 
Arif, yang selalu haus tantangan,  "Contohnya apa, Tam? Kita kan desa nelayan, bukan desa teknologi.  Tapi, kalau kau nggak percaya diri, bagaimana kau bisa berhasil?  Semua orang pernah merasa bodoh di awal, Tam."
 
Tama,  "Sistem irigasi otomatis! Hemat air dan tenaga!  Tapi... aku belum pernah membuat sesuatu yang sebesar itu.  Bagaimana kalau aku salah?  Bagaimana kalau aku mengecewakan Pak Surya?  Bagaimana kalau semua orang menertawakan aku?"  Rasa takutnya semakin nyata,  takut gagal, takut mengecewakan, dan takut dihina.
 
Budi,  "Wah, ide bagus! Tapi butuh biaya dan komponen. Aku bisa bantu cari sponsor, tapi kita butuh proposal yang meyakinkan. Kita harus tunjukkan untungnya buat desa kita.  Tapi, kalau kau sendiri nggak yakin, bagaimana kita bisa meyakinkan mereka?"
 
Caca,  "Serahkan padaku! Aku akan buat presentasi yang menarik! Kita akan tunjukkan bahwa teknologi bisa bikin desa kita lebih maju dan indah!  Tapi, kalau kau sendiri nggak percaya diri, bagaimana kita bisa meyakinkan orang lain?  Kita butuh pemimpin yang percaya diri, Tam."
 
Setelah belajar dari Pak Surya, keraguan Tama semakin mengguncang.  Mereka, dengan latar belakang berbeda, bersatu dengan tujuan yang sama: memajukan Desa Sungai Mimpi.  Namun, konflik internal Tama yang dalam, rasa takut gagal dan tidak mampu, menjadi hambatan terbesar.  Aroma sungai, pasar terapung, dan semangat mereka bercampur menjadi satu, namun dibayangi oleh keraguan dan rasa tidak percaya diri Tama yang begitu nyata. Bersambung... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Pemilihan Umum: Pilar Demokrasi dalam Membentuk Masa Depan Bangsa"

Metode Pembelajaran Efektif di Sekolah Dasar

6 Ilmuwan Muslim yang paling berpengaruh di dunia