Harapan
Keluarga
Oleh:
Eka Rahmady Hardianto
Dipagi
hari yang cerah, ditemani dengan semilirnya angin yang mengembus dan kicauan burung menyambut datangnya pagi.
Embun pagi masih terlihat seperti butiran-butiran salju yang menempel di
dedaunan. Aku bersiap untuk berangkat ke sekolah pagi ini, pakaian yang
kukenakan sudah rapi bagiku. Celana abu-abu panjang dengan baju putih pendek bertuliskan
namaku yang terletak di atas saku, telah selesai kumasukkan sebagian dengan sabuk yang
melingkar diperutku. Langkahku berlanjut menuju rak sepatu yang berada di
samping pintu dan aku pun duduk untuk mengenakannya.
“Siap
untuk berangkat,” pikirku dalam hati.
Hari
ini adalah hal yang aku tunggu setelah hampir tiga tahun aku menuntut ilmu di
SMA N 2 KUMAI tempat aku belajar. Ya, pengumuman hasil ujian nasional. Hal
tersebut sangat ditunggu baik diriku maupun teman-temanku. Pengumuman tersebut wajib dihadiri oleh wali setiap murid
tersebut, merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh ibuku. Ibuku berjanji
padaku ingin menghadiri acara itu, sedangkan Ayahku secara kebetulan juga
mengambil rapor adikku yang duduk di bangku sekolah Madrasah Tsanawiah.
”Ibu,
sudah siap belum?” ucapku dengan ibuku.
Aku
lihat dia sedang bercermin bersolek memakai bedak favoritnya. Ibuku memakai
kerudung berwarna coklat, baju bermotif bunga-bunga yang berwarna-warni, seakan
menggambarkan harapan hatinya yang senang waktu itu. Aku tahu ibuku tidak mau
melewatkan hari yang bersejarah dalam hidupnya, dapat hasil pengumuman hasil
ujianku, untuk menentukan apakah aku lulus atau tidak.
“Ya,
bentar lagi nak?” ucapnya dengan lembut.
Kami
pun berangkat dari rumah, naik sepeda motor. Kira-kita 25 menit kami sampai
kesekolah. Sekolahku memang cukup jauh dari rumah, setiap pagi aku dan adik-adikku
harus bangun pagi. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Disinilah beban itu
harus aku emban, sebagai anak pertama yang harus menjadi contoh bagi
adik-adikku.
Sang surya menampakkan dirinnya
dengan sinarnya yang semakin terang dari ufuk timur yang terlihat menembus
sela-sela pohon waru yang terletak tepat di belakang sekolahku.
“Ibu, nampaknya acara sudah
dimulai?” ucapku sembari melihat kearah ruangan kelas yang nampak telah penuh
dengan wali murid.
“Ya, Ibu masuk kelas dulu ya?”
jawabnya.
Ibuku
pun melangkah dengan tenang menuju ruang kelasku, kumenunggunya di tempat
parker bersama teman-temanku. Hati terasa berdebar-debar bercampur takut. Tak
sabar rasanya menunggu Ibuku keluar membawa amplop yang berisi hasil
pengumuman. Satu jam telah berlalu, ketika aku sedang bercakap-cakap dengan
temanku. Aku tersentak diam, sewaktu melihat ibuku keluar dari pintu ruwang
kelas. Wajah ibuku nampak tenang, tatapan matanya menuju kearahku. Seakan
member tanda, tetapi aku tak bisa membacanya. Tentunya ibuku sudah tau apa isi
amplop itu. Langkah kakinya semakin dekat menuju kearahku, dan seketika dia
memberikankan amplop itu ketanganku. Aku melihat sekelilingku, teman-temanku
meluapkan kegembiraannya dengan berteriak-teriak, mencoret-coret baju mereka,
sampai meloncat-loncat ditempat. Melihat hal itu aku pun tak sabar, dan
langsung saja membukanya. Seketika aku tersentak kegirangan.
“Hore…, aku lulus!” ucapku dengan
keras. Segera aku peluk mamaku, tetesan air matanya mengalir dari mata
kebahagiaan mengalir dari matanya.
“Kenapa ibu menangis?” tanyaku
lirih.
“Ibu bangga padamu nak, kamu bisa lulus
dengan nilai baik. Kamu harus menjadi contoh untuk adik-adikmu. Kamu harus
menjadi orang yang sukses. Karena ibu tahu cita-citamu ingin menjadi seorang
guru. Setelah ini kamu harus melanjutkan ke perguruan tinggi ya?” ucapnya
dengan lirih padaku.
“Apa aku sanggup, mewujudkan
keinginan itu,” pikirku dalam hati.
Aku
tertunduk lesu, seakan tak percaya. Perjuanganku menggapai cita-cita tak sampai
hanya taman SMA saja. Harapan keluarga menjadi tantangan yang harus aku
buktikan. Menjadi orang yang sukses dikemudian hari. Sebab dilingkungan
keluargaku, ibuku hanya tamatan SMP sedangkan Ayahku sampai Aliah.
“Ya
ibu, aku akan mewujudkan keinginan itu,” ucapku dengan nada lemas.
Ucapan itu membuat aku senang
sekaligus sedih, sebab aku merasa aku mungkin tidak mampu mewujudkan keinginan
itu. tetapi hal itu aku anggap sebagai tantangan yang harus aku lalui, karena
kutahu keluargaku akan bangga padaku jika mimpi itu terwujud melihatku sukses
dikemudian hari.
Kampus PBSI FKIP Unpar 2011