TUGAS KAJIAN PUISI KE 2 Puisi 12 Mei, 1998 karya: Taufiq Ismail



12 Mei, 1998
karya: Taufiq Ismail
            Mengenang Elang Mulya, Hery Hertanto,
              Hendriawan Lesmana dan Hafidzin Royan
Empat syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata
Tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
Dan simaklah itu sedu sedan,
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi
Karena jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru

Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian berani
Mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan
Darah arteri sendiri,

Merah putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang
Matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
Bersembunyi,
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama, dan
kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih
jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan
                                                                                               
                                                                                                1998













1. Mitos dalam Puisi
            Pada tahun 1998, Indonesia mengalami gejolak yang sangat demi mendapatkan kebebasan dari rezim yang penuh dengan penindasan dan pembunuhan massal yang dititahkan oleh prima kuasa almarhum Soeharto. Pada saat itu mahasiswa turun ke jalan sambil meneriakkan orasi dengan kalimat protes yang dituliskan pada hamparan spanduk. Bentrok antara aparat keamanan dan mahasiswa pun terjadi sehingga mengakibatkan jatuhnya korban meninggal dunia dan luka-luka. Secara bebas, peristiwa Trisakti yang terjadi pada 12 Mei 1988 tersebut bisa dideskripsikan sebagai berikut: Bahwa sejak pagi hari, ribuan mahasiswa melaksanakan mimbar bebas di kampus Trisakti. Pukul 12.15 WIB mahasiswa memaksa keluar kampus. Selanjutnya pada jam 15.30 WIB diadakan musyawarah aparat keamanan dengan Purek dan Kakamtibpus Universitas Trisakti untuk membujuk mahasiswa kembali ke kampus. Pukul 16.45 WIB mahasiswa dan petugas sama-sama mundur pada batas garis polisi dan pukul 17.15 WIB para mahasiswa menerobos kembali garis polisi. Terdengar tembakan untuk mendesak mahasiswa mundur dan situasi menjadi tidak terkendali. Aparat keamanan berupaya mengendalikan massa sesuai prosedur dan hukum yang berlaku. Dengan jatuhnya korban aparat keamanan atas nama pemerintah menyampaikan ikut berbela- sungkawa, selain itu aparat keamanan juga membantu mengirim korban ke tempat pemakaman dan menegakkan hukum secara tegas. Korban meninggal dunia empat orang yaitu Hafidin Roiyan, Hery Hartanto, Hendriawan dan Elang Mulya Lesmana.
            Puisi berjudul 12 Mei, 1998 merupakan puisi yang ingin meneriakkan kekesalan dan penyesalan karena masyarakat Indonesia terutama penyair merasa terhina oleh tindakan yang dilakukan aparat keamanan. Sebab secara sadar atau tidak, aparat keamanan yang seharusnya menjaga keamanan malah membuat riuh suasana dengan melanggar hukum pasal 103 KUHPM. Taufiq menunjukkan rasa simpati secara spesifik terhadap empat mahasiswa yang tertembak mati dalam kobaran api semangat juang demi mengharap kemerdekaan bagi suatu bangsa sebagai jalan untuk memberikan kemakmuran bagi rakyatnya, karena itulah fungsi dari kemerdekaan. Merdeka dari rasa takut, merdeka dalam berekspresi dan merdeka dalam suatu apapun selama masih tidak keluar dari lingkaran norma-norma yang ada.
2. Kata Dominan
            Kata yang dominan dalam puisi di atas adalah yang pertama adalah ‘kalian’, karena terdapat dalam setiap bait dalam puisi tersebut. Kata dominan merupakan kata yang sering digunakan atau dipakai dalm puisi yang menjadi topik atau inti puisi. Kata ‘kalian’ menunjukkan maksud dari sejumlah orang yang diajak berbicara dalam puisi tersebut.
            /Mengenang Elang Mulya, Hery Hertanto,
              Hendriawan Lesmana dan Hafidzin Royan
Empat syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata
Tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
Dan simaklah itu sedu sedan,
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi
Karena jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru/

            Kata ‘kalian’ ditunjukkan pada bait pertama larik ke enam, yaitu /mereka anak muda pengembara tiada henti/. Pada bait pertama tersebut menggambarkan bagaimana duka keluarga dan kerabat empat mahasiswa, yang masing-masing adalah Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidzin Royan yang diangggap menyatakan bahwa reformasi diibaratkan dengan sebuah pengembaraan untuk kehidupan yang lebih baik. Pada larik selanjutnya mengungkapkan betapa tangis menjadi aroma melati yang menghambur, sebagai pembuktian maka kita diajak oleh penyair untuk melekapkan telinga ke tanah kuburan. Betapa tangis kerabat empat syuhada’ ditahan, dicekal-cekal dalam tenggorokan agar tak meneteskan airmata sebagai pemberangkatan yang ikhlas ke tanah peristirahatan.
/Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian berani
Mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan
Darah arteri sendiri,/

            Kata ‘kalian’ muncul kembali pada bait ke dua, larik ke dua. Pada bait ini, menggambarkan bahwa mahasiswa Indonesia pada waktu itu tidak pernah putus-putus dari penjajahan, sehingga para pemuda dan masyarakat Indonesia merasa muak dan sangat patut untuk mendeklarasikan sebuah reformasi bagi bangsanya sendiri bahwa penjajahan benar-benar telah usai. Secara sadar ingin mengatakan bahwa seharusnya mahasiswa Indonesia tidak perlu repot-repot turun ke jalan, memikirkan penjajahan ini, karena nenek moyang kita sudah mewariskan kemerdekaan, setelah sekian ratus tahun diperjuangkannya oleh sekian pahlawan yang tiada cukup data statistika menyebutkannya. Penyair secara sadar pula menyayangkan mahasiswa yang turun ke jalan. Seharusnya mereka lebih konsentrasi dalam menuntut ilmu sehingga menjadi insinyur, ekonom untuk melepaskan tali gantungan IMF dari leher bangsa kita yang penuh hutang. Akan tetapi dikarenakan keadaan menuntut perlawanan dan perjuangan mahasiswa untuk turut andil, maka kata sayang yang diartikan negatif tadi menjadi kata pujian sebagai pahlawan.
/Merah putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang
Matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
Bersembunyi,
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama, dan
kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih
jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan/

            Kata ‘kalian’ kembali muncul pada bait ketiga, larik ke lima. Bait ini, menggambarkan bagaimana bendera merah putih yang dikibarkan setengah tiang dalam pengertiannya bisa menjadi “sesuatu yang belum tuntas”, atau bisa jadi “sedih karena musibah”. Namun lepas dari dua asumsi di atas penyair menyadarkan bahwa selama ini bendera kita yang menjadi simbol kemerdekaan tidaklah berkibar dengan baik, yang salah satu penyebabnya adalah kediktatoran dan penindasan serta hukum yang semena-mena, sehingga bendera tidak bisa menjadi simbol kemerdekaan berkibar dengan sumringah, dikarenakan semangat juang yang diumpamakan angin oleh penyair menjadi ciut dan kerdil di bawah penindasan. Setiap keadaan akan melahirkan sekelompok manusia yang berbeda. Semangat juang kembali lahir ketika penindasan menjadi-jadi di negeri ini. Maka dengan ikhlas Taufiq menutup puisinya dengan/Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama, dan/ /kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih/ / jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan/  secara sangat sadar diakui bahwasanya doa adalah usaha yang dilakukan sekian banyak orang untuk sebuah kesuksesan, sehingga dengan itu tidak perlu lagi ada dendam karena dendam hanya akan membuat bara api baru yang tak pernah usai.
            Peristiwa trisakti dalam pencapaian reformasi tidak selesai di situ saja, Taufiq melanjutkan kegelisahannya dalam puisi berjudul “takut ’66, takut ’98” yang diletakkan pada posisi kedua setelah “12 mei, 1998”. Dalam peristiwa trisakti terjadi musyawarah antara aparat keamanan dengan Purek dan Kakamtibpus Universitas Trisakti untuk membujuk mahasiswa kembali ke kampus.
3. Sejarah Perjalanan Sajak-Sajak Karya Taufiq Ismail
            Taufiq Ismail mendapat Gelar Datuk Panji Alam Khalifatullah, (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Taufiq Ismail lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri PERMI. Ia menghabiskan masa SD di Solo, Semarang, dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, dan SMA di Pekalongan. Taufiq tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.
            Kegiatan semasa kuliah aktif sebagai Aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan Dewan Mahasiswa UI (1961-1962). Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor. Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York, 1974-1976.
            Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain. Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas. Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di tiga tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.
            Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul Rendez Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia (Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004). Penghargaan Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993).

Postingan populer dari blog ini

Metode Pembelajaran Efektif di Sekolah Dasar

"Pemilihan Umum: Pilar Demokrasi dalam Membentuk Masa Depan Bangsa"

Sinopsis naskah Zetan