21 November 2011

TUGAS Mata Kuliah EVALUASI PEMBELAJARAN Materi : Tes Cloze

TUGAS
Mata Kuliah
EVALUASI PEMBELAJARAN
Materi : Tes Cloze
Dosen : Dr. Petrus Poerwadi, M.S












Oleh
Eka Rahmady Hardianto
NIM AAB 109089
















PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2011













KATA PENGANTAR
       
        Puji Syukur kita Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Atas Berkat dan Rahmat-Nyalah Saya dapat menyusun tugas mata kuliah evaluasi pengajaran bahasa indonesia.
        Tugas ini merupakan tugas individu yang wajib dibuat oleh setiap individu, untuk dijadikan bahan untuk berdiskusi.
        Semoga dengan adanya bahan ini, dapat memberi pengetahuan atau wawasan kita. Tentang tes bahasa dalam pengajaran.
        Saya menyadari bahan yang di susun ini, jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat saya harapkan agar dapat menjadi lebih baik nantinya.



Palangkaraya,12 Oktober 2011
Penyusun

Eka Rahmady H






Tes Cloze
Merupakan bentuk tes bahasa yang tidak secara khusus terkait dengan salah satu aspek kemampuan berbahasa atau komponen bahasa. Hal itu disebabkan karena adanya perbedaan sasaran pokok yang daijadikan titik berat dari penyelenggaraan tesnya.
Tes Cloze mula-mula di kembangkan oleh W.J. Tailer (1953) berdasarkan proses closure yang semula dikenal dan digunakan dalam bidang psikolog. Dengan prose itu seseorang dapat memehami wacana meski di sana-sini terdapat bagian-bagian yang kurang jelas atau kurang lengkap.  Dengan sedikit mengubah istilahnya menjadi cloze, prose situ diterapkan di bidang bahasa sebagai proses pemahaman wacana yang disertai dengan melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada.
Dalam penerapanya sebagai tes cloze, kekurangan yang harus dilengkapi itu sendiri dari kata-kata yang merupakan bagian dari suatu wacana, yang sengaja dihilangkan dari teks aslinya.
Kemampuan untuk mengenali dan mengembalikan kata-kata yang telah dihilangkan itu secara tepat, menunjukkan tingkat kemampuan berbahasa, dan yang merupakan sasaran teks cloze.
Penghilangan kata-kata dari teks cloze merupakan ciri khas pokok dari tes cloze. Pada format aslinya penghilangan kata-kata itu dilakukan secara sistematis, dengan menggunakan rumus yang dikenal sebagai penghilangan kata ke-n. maksudnya adalah pada suatu teks yang telah dipilih, kata yang se-kian (misalnya ke-6, atau ke-7 dan sebagainya) dihilangkan dan cara menghilangkannya, sehingga meninggalkan suatu tempat kosong.
Dalam mengerjakan teks cloze.Peserta tes harus berusaha untuk menentukan kata yang telah dihilangkan,memasukkan kembali kedalam tempatnya yang sesuai, sedemikian rupa sehingga teks itu kembali utuh secara kebahasaan dan makna, seperti teks aslinya. Untuk itu dibutuhkan kemampuan bahasa yang bersifat menyeluruh, yang tidak semata-mata terbatas pada pengusaan ejaan, penulisan, dan makna kata-kata, atau pun tata bahasa, tetapi pemahaman terhadap wacana secara keseluruhan dengan berbagai hubungan antar bagian wacana yang terdapat didalamnya. 
Sebagai bentuk tes yang relatif baru dibandingkan dengan bentuk-bentuk tes yang lain yang telah lama dikenal dan dignakan secara luas, tes cloze dihadapkan kepada banyak catatan dan keberatan. Catatan itu sebagian berkaitan dengan cirites pada umumny, seperti validalitas dan reliabiltas, dan sebagian lain berhubungan dengan cirri khusus tes cloze, termasuk masalah cara penghilangan kata dan penilaian jawaban peserta tes.




Simpulan
Tes cloze merupakan bentuk tes bahasa yang tidak secara khusus terkait dengan salah satu aspek kemampuan berbahasa atau komponen bahasa. Penghilangan kata-kata dari teks cloze merupakan ciri khas pokok dari tes cloze. Pada format aslinya penghilangan kata-kata itu dilakukan secara sistematis, dengan menggunakan rumus yang dikenal sebagai penghilangan kata ke-n. maksudnya adalah pada suatu teks yang telah dipilih, kata yang se-kian (misalnya ke-6, atau ke-7 dan sebagainya) dihilangkan dan cara menghilangkannya, sehingga meninggalkan suatu tempat kosong. Sebagai bentuk tes yang relatif baru dibandingkan dengan bentuk-bentuk tes yang lain yang telah lama dikenal dan dignakan secara luas, tes cloze dihadapkan kepada banyak catatan dan keberatan.

Cara membuat dan contoh tes cloze

1. Membuat soal tes keterbacaan bagi para peserta didik.
Dalam membuat soal tes keterbacaan dengan model tes cloze, peraturan pembuatan soalnya adalah, sebagai berikut:
  • kalimat pertama pada teks tidak dilesatkan begitupun dengan kalimat teks terakhir.
  • kata ke-N dimulai pada kalimat kedua.
  • kata depan dihitung 1 kata.
  • konjungsi (kata penghubung) dihitung 1 kata.
  • proposisi untuk, dan lain-lain dihitung 1 kata.
  • kata ulang berimbuhan atau penuh dihitung 1 kata.
  • kata jadian, kata dasar, dan imbuhan dihitung 1 kata.
Berikut adalah tes cloze yang telah saya lakukan.
TES KETERBACAAN
LKS BAHASA INDONESIA
UNTUK KELAS XII SEKOLAH MENENGAH ATAS
Petunjuk:
  1. Bacalah teks bacaan dibawah ini dengan teliti dan pahami isinya!
  2. Tulislah kata yang tepat (sesuai dengan kata yang terdapat dalam teks asli) pada bagian-bagian yang masih kosong yang terdapat dalam teks bacaan tersebut pada lembar jawaban yang tersedia
  3. Waktu 90 menit
Banyak Pupuk Bersubsidi Diselundupkan
(Jakarta: Espos)
Banyak pupuk urea bersubsidi yang diselundupkan ke negara tetangga sehingga pupuk langka di sejumlah daerah antara lain di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatra Utara.
“Kalau pupuk langka sama (1)………. tidak, tapi memang ada (2)………. di beberapa daerah akibat (3)………… yang pas-pasan karena produksi (4)……….. akibat pasokan gas yang (5)………..”, kata Dirut PT Pusri (6)………. menjadi induk BUMN produsen (7)………. , Zainal Soedjais, di sela-sela (8)…………. di Jakarta, kamis 29 (9)……….
Dijelaskannya, akibat pasokan pupuk (10)………… tersendat, pupuk untuk sektor (11)……….. yang diberi subsidi semakin (12)……….. yang merembes ke sektor (13)…………., seperti perkebunan, sehingga ada (14)………….. yang mengalami kelangkaan.
Harga (15)………. sektor pangan dan nonpangan (16)……… selisih Rp 200 – Rp (17)……….. per kilogram. Pemerintah dalam (18)……….. mendukung ketahanan pangan telah (19)………… subsidi pupuk urea kepada (20)………. sehingga harganya Rp 1.050 (21)……. kilogram.
Namun Sudjais tidak (22)………. memperkirakan berapa persen dari (23)……….. subsidi yang merembes ke (24)………… nonpangan (perkebunan dan industri) (25)………… sebenarnya kecil sekitar 600.000 (26)………. per tahun. Sedangkan untuk kebutuhan pupuk sektor pangan sekitar empat juta ton per tahun.
Perlu dicatat, dalam membuat tes keterbacaan model tes cloze, seorang guru terlebih dahulu harus menentukan lata ke-n (kata yang akan dilesatkan, seperti (…..) di atas. kata ke-n yang saat ini saya gunakan adalah 5.
2. Setelah soal tes keterbacaan terbentuk, maka seorang guru haruslah mempersiapkan lembar jawaban untuk siswa dan juga untuk guru, lembar jawaban untuk siswa masih berbentuk tabel yang kosong. sedangkan untuk guru lembar jawabannya adalah isian/jawaban dari hasil tes tersebut. untuk lebih jelasnya, mari kita lihat contoh berikut:
Kunci jawaban (untuk guru)
1. sekali
10. yang
19. memberikan
2. masalah
11. pangan
20. petani
3. pasokan
12. banyak
21. per
4. berkurang
13. nonpangan
22. bisa
5. tersendat
14. daerah
23. pupuk
6. yang
15. pupuk
24. sektor
7. pupuk
16. memang
25. sendiri
8. seminar
17. 250
26. ton
9. April
18. upaya


Lembar jawaban (untuk siswa)
1.
16.
2.
17.
3.
18.
4.
19.
5.
20.
6.
21.
7.
22.
8.
23.
9.
24.
10.
25.
11.
26.
12.

13.

14.

15.




Identitas Diri Siswa
Nama               :
Sekolah           :
Kelas                :
Tanda Tangan:
3. Penilaian
Penilaian dilakukan seorang guru setelah tugas tes diselesaikan oleh para siswa.
Cara melakukan penilaiannya, yaitu: jawaban/jumlah soal X 100%+…
setelah nilai semua siswa didapat, naka guru mengambil rata-rata untuk mengetahui apakah teks tersebut terlalu sukar, sedang, atau terlalu mudah bagi siswa.
Berikut ini adalah contoh rata-rata hasil dari tes yang saya lakukan terhadap beberapa siswa di sekolah dekat lingkungan tempat tinggal saya.
No.
Nama
Nilai
1
Dina Febriana
96%
2
Ulil Ilmiyati
88%
3
Restiya
92%
4
Nur Solihah
73%
5
Ilham Murrohman
61%
6
Vina Sonia
80%
7
Vikka Septiara
92%
8
Septiyana
80%
9
Arisha Azima
92%
10
Yusnia Fatma
96%
11
Reni Susanti
92%
Rata-rata
86%
Dari data rata-rata diatas, dapat disimpulkan bahwa teks tersebut terlalu mudah bagi para siswa tersebut.





10 Oktober 2011

Pengertian Bahasa Sebagai Sistem Semiotik (s5)

PENGERTIAN BAHASA
DAN BAHASA SEBAGAI SISTEM SEMIOTIK

Dibuat untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Semantik Bahasa Indonesia


Dosen Pembina
Patrisia Cuesdeyeni, S.Pd.



Disusun Oleh

Nama                                       Nim                
Supian Sugiman                      AAB I09 113
Eka Rahmady                         AAB 109 083
Theguh Siswanto                    AAB 109 110
Rusdiansyah                            AAB 107 053

4484_1014409697735_1749840452_22676_55493_s




                                                                                                                 
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2011
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami Panjatkan Kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan Rahmat-Nyalah kami dapat menyusun makalah mata kuliah Semantik Bahasa
Indonesia.
Makalah ini merupakan tugas kelompok yang wajib dibuat oleh setiap kelompok mahasiswa, yang diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah.
Semoga dengan disusunnya makalah kami ini, dapat memberi pengetahuan atau wawasan kita. Tentang pengertian bahasa dan bahasa sebagai sistem semiotik.
Kami menyadari makalah yang disusun ini, jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan agar dapat menjadi lebih baik nantinya.




Palangkaraya,   Oktober 2011
Penyusun


Kelompok III









DAFTAR ISI

           
KATA PENGANTAR................................................................................... ....... .....i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ............ ii
BAB I      PENDAHULUAN
A.    Latar belakang.......................................................................... ............ 1
B.     .................................................................................................. Rumusan Masalah..................................................................................... ............2
C.     Tujuan pembahasan…………………………………………………...2

BAB II     PEMBAHASAN                                                                      
A.  Pengertian Bahasa…………………………………………………….3
B.  Ciri-Ciri Bahasa………………………………………………………4
C.  Bahasa sebagai sistem semiotik………………………………………6
BAB III   PENUTUP                                                                             
A.    Kesimpulan .............................................................................. ……. .10
B.     Saran………………………………………………………………....10
DAFTAR  PUSTAKA……………………………………………………………...11



                                                          




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
 Bahasa pada dasarnya merupakan sesuatu yang khas dimiliki manusia (Aminuddin, 2003 : 17). Ernst Cassirer dalam hal ini menyebutkan manusia sebagai animal symbolicum, yakni makhluk yang menggunakan media berupa simbol kebahasaan dan memberi arti serta mengisi kehidupannya. Keberadaan manusia sebagai animal symbolicum lebih berarti dari pada keberadaan manusia sebagai makhluk berpikir, karena tanpa adanya simbol, manusia tidak akan mampu melangsungkan kegiatan berpikirnya. Selain itu, dengan adanya simbol itu juga memungkinkan manusia untuk bukan hanya sekedar berpikir, melainkan juga mendapatkan kontak dengan realitas kehidupan di luar diri serta mengabdikan hasil berpikir dan kontak itu kepada dunia.
 Bahasa berperan antara lain dalam (a) membentuk pengalaman sehubungan dengan tanggapan terhadap dunia luar secara simbolik, (b) menjadi alat yang menyertai dan membentuk proses berpikir, (c) berperanan dalam mengolah gagasan, serta (d) menjadi alat penyampai gagasan lewat kegiatan komunikasi. Masalahnya sekarang, bagaimanakah karakteristik bahasa itu sebagai milik khas manusia, sebagai sistem semiotik dan kaitannya dengan makna. Pembahasan masalah itu diharapkan bisa memberikan gambaran bahwa menghadirkan dan memahami makna melibatkan sejumlah unsur yang mungkin saja kompleks. Hal itu terjadi karena makna yang bermula dari kata, selain melibatkan pemakai, juga melibatkan unsur sosial budaya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulisan makalah ini diberi judul Pengertian Bahasa dan Bahasa Sebagai Sistem Semiotik
.



1.2.   Rumusan Masalah
Agar penulisan ini lebih terarah dan tidak kabur makna, maka penulisan kali ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.   Bagaimanakah pengertian bahasa?
2.   Bagaimanakah ciri-ciri bahasa?
3.   Bagaimanakah bahasa sebagai sistem semiotik?

1.3.   Tujuan
Suatu tulisan yang baik harus memiliki tujuan yang jelas. Oleh karena itu, tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut.
1.   Mengetahui pengertian bahasa.
2.   Mengetahui ciri-ciri bahasa.
3.   Mengetahui bahasa sebagai sistem semiotik.

















BAB II
PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengertian bahasa dan bahasa sebagai sistem semiotik. Berikut ini uraian tentang pengertian bahasa dan bahasa sebagai sistem semiotik, serta ciri-ciri dalam bahasa.
2.1.   Pengertian Bahasa
Batasan pengertian bahasa yang lazim diberikan, yaitu bahasa adalah sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 1982 : 17). Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan sistemis, dikatakan sistemis karena bahasa memiliki kaidah atau aturan tertentu. Bahasa juga bersifat sistemis karena memiliki subsistem, yakni subsistem fonologis, subsitem gramatikal, dan subsistem leksikal. Beberapa hal menarik yang dapat disimpulkan dari batasan pengertian itu adala h (a) bahasa merupakan suatu sistem, (b)Sebagai sistem, bahasa bersifat arbitrer, dan (c) sebagai sistem arbitrer, bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi, baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri.
 Bahasa memiliki komponen-komponen yang tersusun secara hierarkis. Komponen itu meliputi komponen fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis. Masing-masing komponen tersebut saling memberi arti, saling berhubungan dan saling menentukan.
Pada sisi lain, setiap komponen juga memiliki sistemnya sendiri. Sistem pada tataran bunyi, misalnya dikaji bidang fonologi, pada tataran kata dikaji bidang morfologi, dan kajian sistem pada tataran kalimat menjadi wilayah sintaksis. Sebagai subsistem, masing-masing komponen tersebut juga telah mengandung aspek semantis tertentu sehingga secara potensial dapat disusun dan dikombinasikan untuk digunakan dalam komunikasi.
Dari kenyataan bahwa bahasa merupakan suatu yang bersistem, maka bahasa sebenarnya, selain bersifat arbitrer, sekaligus juga nonarbitrer (Bolinger, 1981 : 9). Dengan terdapatnya sistem dan sekaligus kesepakatan itulah, bahasa akhirnya dapat digunakan untuk berinterkasi. Pemakaian bahasa dalam interaksi, lebih lanjut juga membuahkan sejumlah ciri lain. Hal itu terjadi karena bahasa bukan satu-satunya alat yang digunakan untuk berinteraksi dalam bentuk komuniaksi. Bahasa memiliki ciri-ciri tertentu yang bersifat khusus. Ciri-ciri tersebut dapat dikaji dalam paparan berikut ini.

2.2.   Ciri-ciri bahasa
Bahasa memliki sifat kabur (vagueness) karena makna yang terkandung didalam bentuk kebahasaan pada dasarnya hanya mewakili realitas yang diwakilinya. Ambiguity berkaitan dengan ciri kataksaan makna dari suatu bentuk kebahasaan. Kekaburan dan kataksaan itu diakibatkan oleh kelebihannya yang multifungsi, yakni fungsi simbolik, emotif, dan efektif. Bahasa pun bersifat inexplicitness sehingga tidak secara eksak, tepat, dan menyeluruh untuk mewujudkan gagasan yang dipersentasikannya. Selain itu, pemakaian suatu bentuk bahasa sering berpindah-pindah maknanya sesuai dengan konteks gramatikal, sosial, dan situasional atau bersifat context-dependence.
Adapun ciri-ciri bahasa manusia, apabila dibandingkan dengan bahasa binatang serta sistem tanda lain, seperti telah diungkapkan antara lain oleh Hockett (1960), Osgood (1980), maupun Bolinger (1981), apabila dikaitkan dengan aspek makna, adalah sebagai berikut.
a.    Alat fisis yang digunakan bersifat tetap dan memiliki kriteria tertentu, disebut demikian karena bahasa yang beresensikan bunyi ujaran selalu menggunakan alat ujar sesuai dengan kriteria tertentu.
b.   Organisme yang digunakan, memiliki hubungan timbal balik, alat ujaran yang digunakan manusia, baik berjenis kelamin laki-laki, perempuan, ataupun suku dan bangsa yang berlainan, semuanya sama.
c.    Menggunakan kriteria pragmatik, disebut demikian karena perwujudan bentuk  kebahasaan lewat pemakai, menggunakan kriteria pemakai tertentu.
d.   Mengandung kriteria semantis. Ciri kriteria itu muncul karena kegiatan berbahasa memiliki fungsi semantis tertentu.
e.    Memiliki kriteria sintaksis, disebut demikia karena kata-kata yang digunakan, untuk menjadi suatu kalimat harus disusun sesuai dengan pola kalimat yang telah disepakati.
f.    Melibatkan unsur bunyi maupun unsur audiovisual. disebut demikian karena pemakaian bahasa selain melibatkan media transmisi berupa bunyi, juga melibatkan unsur paralanguage.
g.   Memiliki kriteria kombinasi dan bersifat produktif, terdapatnya ciri itu ditandai oleh adanya potensialitas unsur kebahasaan untuk bergabung secara sintagmatik.
h.   Bersifat arbitrer, karena hubungan antara lambang kebahasaan dengan referen yang dilambangkan hanya berdasrkan kesepakatan, dan bukan pada kemampuan lambang itu dalam memberikan kembali realitas luar yang diacunya.
i.     Memiliki ciri prevarikasi, karena bahasa sebagai realitas terpisah dengan dunia luar yang diwakilinya, setelah muncul dalam pemakaian, isinya bisa benar, bisa tidak.
j.     Terbatas dan relatif tetap, yakni dalam hal pola kalimat struktur kata.
k.   Mengandung diskontinyuitas, secara paradoksal, bahasa, selain memiliki kontinyuitas, oleh Maillet disebutkan juga mengandung diskontinyuitas.
l.     Bersifat hierarkis, bahasa disusun dan dibangun oleh perangkat komponen bunyi, bentuk, kata, kalimat, maupun wancana.
m. Bersifat sistematis dan simultan, meskipun bahasa merupakan suatu komponennya dapat dianalisis secara terpisah, sebagai suatu sistem komponen-komponen tersebut harus digunakan secara laras dan simultan.
n.   Saling melengkapi dan mengisi, Hocket dalam hal ini menyebutkan ciri interchangeability dari bahasa sehingga, meskipun bahasa itu memiliki komponen yang terpisah, karena adanya potensialitas dan mobilitas, masing-masing komponen itu dapat saling dipertukarkan.
o.   Informasi kebahasaan dapat disegmentasi, dihubungkan, disatukan dan diabadikan, dalam kegiatan tuturan, selama masing-masing pemeran masih hidup, bahasa dapat digunakan dalam ruang dan satuan waktu yang berbeda-beda secara berkesinambungan.
p.   Transmisi budaya, yakni bahasa selain dapat digunakan untuk menyampaikan rekaman unsur dan nilai kebudayaan saat sekarang, juga dapat digunakan sebagai alat pewaris kebudayaan itu sendiri.
q.   Bahasa itu dapat dipelajari, baik bahasa yang masih hidup maupun yang sudah mati
r.     Bahasa itu dalam pemakaian bersifat bidimensional, disebut demikian karena makna keberadaannya, selain ditentukan oleh kehadiran dan hubungan antarlambang kebahasaan itu sendiri juga ditentukan oleh pameran serta konteks sosial dan situasionaln yang melatari.

2.3.   Bahasa sebagai sistem semiotik
Dari ciri terakhir yang telah diungkapkan, diketahui bahwa keberadaan bahasa sebagai suatu sistem juga bersifat bidimensional. Sebagai suatu realitas dalam pemakaian, bahasa selain memiliki sistemnya sendiri juga berhubungan dengan sitem lain di luar dirinya. Keberadaan istilah kekerabatan dalam bahasa jawa, seperti bapak, embok, pakdhe, budhe, misalnya ditentukan oleh sisitem kekerabatan dalam masyarakat jawa. Sebab itu, untuk memahaminya, sistem yang melatari harus dipahami terlebih dahulu.
Dihubungkan dengan kata yang terdapat di dalam bahasa itu sendiri, setiap bahasa juga memiliki fungsi deiksis. Pengertian fungsi deiksis ialah fungsi menunjuk sesuatu di luar bentuk kebahasaan. Kedeiksisan itu, dalam setiap bahasa akan meliputi penunjukan terhadap objek, persona, dan peristiwa sehubungan dengan keberadaan pemeran dalam ruang dan waktu (Palmer, 1981 : 60).
 Dalam bahasa indonesia misalnya, terdapat bentuk saya, kami, kita maupun kamu, sebagai bentuk yang menunjuk pada persona sebagai pameran. Ini, itu serta di sini, dan di situ, sebagai bentuk yang berkaitan dengan penunjukan jarak ruang antara pameran maupun antara masin-masing pameran dengan objek yang terlibat dalam kegiatan tuturan.
Acuan dari bentuk kamu, itu, maupun kemarin, misalnya, referennya dapat berpindah-pindah. Penentuan referennya baru dapat ditetapkan apabila konteks tuturan sudah diketahui dengan pasti, salah satu bentuk konteks itu , selain struktur adalah konteks sosial dan situasional. Dari terdapatnya sejumlah kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian kebahasaan sebagai suatu kode yang telah muncul dalam pemakaian, selain berfokus pada (1) karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata yang satu dengan kata yang lainnya, (2) hubungan antara bentuk kebahasaan dengan dunia luar yang diacunya, juga berfokus pada (3) hubungan antara kode dangan pemakainya.
Sejalan dengan terdapatnya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem (1) sintaksis, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungannya, (2) semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya, serta (3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian (Lyons, 1979 : 115). Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media nonbahasa atau nonverbal.  Sementara media kebahasaan itu ditinjau dari alat pemunculannya atau channel, dibedakan pula antara media lisan dengan media tulis. Dari kemunkinan terdapatnya unsur suprasegmental maupun kinesiks, maka kalimat dalam dan bentuk tulisan lebih mengutamakan adanya kelengkapan unsur dan kejelasan urutan dari pada secara lisan.
Sistem kaidah penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan strata makna dalam suatu bahasa. Pada sisi lain, makna sebagai label yang mengacu realitas tertentu juga memiliki sistem hubungannya sendiri. Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai menjadi bagian dari sistem semiotik sehingga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya bahlan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, kedalam konteks sosial budaya yang dimiliki.
 Aspek pragmatik dalam semiotik sama sekali tidak dikaitkan dengan unsur pemakaian, sebagai unsur yang secara langsung berhubungan dengan konteks sosial dan situasional karena unsur-unsur sosial dan situasional dalam semiotik telah disikapi sebagai unsur (1) sistem pemakaian dan termasuk di dalam sistem pragmatik, (2) unsur kontekstual, baik sosial maupun situasional, sebagai suatu sistem, telah berada di dalam kesadaran kolektif anggota suatau masyarakat bahasa, (3) latar fisis dan situasi hanya berfungsi sekunder. Atau dengan kata lain pusat perhatian semiotik adalah sistem yang mendasari “sistem kebahasaan” dan bukan pada wujud pemakaiannya.
Pendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang tidak dapat dipisahkan dengan pemakai, aspek lambang, dan semantis, juga diungkapkan oleh Ferdinand de Saussure (1916) mengungkapkan bahwa itu mencakup tiga unusur, meliputi (1) la langue, yakni unit sistem kebahasaan yang bersifat kolektif dan dimiliki oleh setiap anggota masyarakat bahasa, (2) la parole, sebagai wujud bahasa yang digunakan anggota masyarakat bahasa itu dalam pemakaian, serta (3) la langage, yaitu wujud dari pengelompokan la parole yang nantinya akan menimbulkan dialek maupun register. Pemahaman terhadap sistem kebahasaan itu tentu sangat berperan dalam upaya memahami wujud kebahasaan atau signal yang direpresentasikan oleh pemakainya.
 Dari uraian tentang bahasa sebagai sistem semiotik di atas, dapat disimpulkan bahwa pemakaian bahasa dalam komunikasi diawali dan disertai sejumlah unsur, meliputi (1) sistem sosial budaya dalam suatu masyarakat bahasa, (2) sistem kebahasaan yang melandasi, (3) bentuk kebahasaan yang digunakan, serta (4) aspek semantis yang dikandungnya. Dalam komunikasi, dari keempat unsur di atas yang tertampil secara eksplisit adalah signal, yang oleh Colin Cherry diartikannya sebagai bentuk fisis yang digunakan untuk menyampaikan pesan baik itu ujaran kebahasaan maupun unsur lain yang secara laras menunjang aspek-aspek semantis yang akan direpresentasikan (Cheryy, 1957 : 306).
Dengan demikian, dalam proses komunikasi, signal memiliki dua fungsi. Pertama, signal atau tanda menjadi alat paparan pengirim pesan atau sender. Kedua, tanda juga menjadi tumpuan dalam penerimaan dan upaya memahami pesan. Dapat diketahui bahwa penutur  memiliki hubungan langsung dengan sistem sosial budaya, sistem kebahasaan, aspek semantis, serta signal yang diwujudkannya. Dengan demikian, kunci pemahaman aspek semantis adalah pada penutur atau pemakai yang memiliki atribut sistem kebahasaan serta latar sosial budaya.
Apabila penerima adalah pemakai bahasa yang digunakan penutut, maka hubungan resiprokal besar kemungkinan dapat terjadi. Sementara penerima yang bukan anggota masyarakat bahasa penuturnya, terlebih dahulu harus mengidentifikasi identitas-identitas penutur, berusaha memahami keseluruhannya itu, penerima pesan pasti gagal menerima informasi sehingga komunikasi itu pun tidak berlangsung. Masalah yang segera muncul adalah (1) mengapa signal yang disampaikan dan diterima oleh sesama anggota masyarakat bahasa tidak membuahkan informasi, serta (2) penutur yang bukan anggota masyarakat bahasa dengan hanya memahami sistem kebahasaannya.











BAB II
PENUTUP

3.1.   Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan mengenai pengertian bahasa dan bahasa sebagai sistem semiotik, serta ciri-ciri dalam bahasa, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
1.   Pengertian bahasa adalah sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri.
2.   Ciri bahasa manusia, apabila dibandingkan dengan sistem tanda lain dan dikaitkan dengan aspek makna mempunyai delapan belas ciri-ciri bahasa.
3.   Bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen sistem tersebut adalah komponen (1) sintaktik, (2) semantik, dan (3) pragmatik.
3.2.    Saran
Pengajian dalam penulisan ini hanya menyoroti secara umum pengertian bahasa dan bahasa sebagai sistem semiotik. Oleh karena itu, untuk lebih memahami seluk-beluk secara terperinci mengenai hubungan pengertian bahasa dan bahasa sebagai sistem semiotik, maka disarankan untuk melakukan pengajian lebih lanjut mengenai pengertian bahasa dan bahasa sebagi sistem semiotik dari segi struktur dan fungsi.









DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H.,  1981,  A  Glosary of Literary Term, New York :
Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Bolinger,  Dwight  L.,  &  Sears,  A.  Donald,  1981,  Aspects of
Language,  New  York : Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Cherry,  Colin,  1957, On Human Communication :  A  Review,
a  Survey,  and Criticsim,  Massachusetss :  The  Technolgy
Press of  Massachhuusetts  Institute of  Technology

Kridalaksana,  Harimurti,  1982,  Kamus  Linguistik,  Jakarta :  Gramedia

Lyons,  Jhon,  1971,  Introduction  To  Theoretical  Linguistics,
 London : Cambridge at  The  University  Press

Osgood,  Charles  E.,  1980,  Lectures on  Language  Performance, 
New  York : Springer-Verlag New York, Inc.

Palmer,  F.R.,  1981,  Semantics,  London :  Cambredge  University Press

Aminudin.  1988.  Semantik.  Bandung :  Sinar  Baru.

Slametmuljana.  1962.  Tata Makna (Semantik). Jakarta: Gramedia.