GUS BAHA': KAU BENCI ORANG MUNAFIQ? KAMU SAYA AJARI LOGIKA QURAN YA: TIDAK ADA ORANG ALIM YANG KETERLALUAN MEMBENCI ORANG



GUS BAHA': KAU BENCI ORANG MUNAFIQ? KAMU SAYA AJARI LOGIKA QURAN YA: TIDAK ADA ORANG ALIM YANG KETERLALUAN MEMBENCI ORANG

Ini saya ajari ya. Sudah, pokoknya kalian harus berterima kasih, terpaksa berterima kasih pada saya. 😅
Saya juga berterima kasih pada Guru2 saya, karena
من لم يشكر الناس لم يشكر الله

Saya ajari ilmu logika Al-Quran. Logika Al-Quran itu unik. Sekarang saya beri persoalan:
Orang shaleh melanggar janji, dia itu karena memang niat melanggar janji ataulah karena tidak mampu menepati? Ataukah sedang kambuh ketidaksholehannya? 

Misalnya saya punya utang pada Rukhin 10 juta, lalu saya janji besok melunasi. Ketika besok saya tidak membayar utangnya itu karena saya sedang tidak shaleh karena hati itu dibolak-balik, ataukah niat melunasi tapi gagal karena memang tidak punya uang, ataukah yang keliru Rukhin karena ndilalah ketika saya mau melunasi, orangnya tidak ada. Saya tanya. Jawab saja. 

Apapun jawabannya, manusia itu tetap dalam posisi dhaif: kadang punya keinginan tidak terwujud. Jika begitu, berarti manusia itu menipu, sholeh pun menipu,  cuma kadang tidak disalahkan oleh Allah karena kondisinya. 

Oleh sebab itu ilmu Quran itu kadang unik: Apa sebabnya Allah tidak pernah tidak melanggar janji?
Sebab Allah itu Al-Khaliq, dzat yang menciptakan. Mengapa Allah itu dzat yang tidak bisa melanggar janji, tidak mungkin melanggar janji? Karena Allah itu Al-Khaliq, yang menciptakan. 

Logikanya begini. Misalnya saya berjanji akan memecahkan gelas ini. Seharusnya kan mudah, gelas itu sesuatu yang mudah pecah, apalagi saya membawa palu. Ketika saya akan memecahkannya, ternyata saya stroke, atau gelasnya dicuri orang, atau atau tiba2 ada puting beliung yang membuat saya jatuh. 

Jadi artinya begini: kuncinya Allah itu digjaya, tidak nyulayani janji, karena Allah itu yang bisa mengatur. Beda dengan manusia yang niat baik saja kadang tidak bisa baik, karena tidak bisa mengatur. 😅 

MATA MEMBUAT MANUSIA TIDAK MELIHAT/TAHU

Logika Quran itu begitu. Jadi jika ditanyai mengapa Allah Mengetahui? Ya karena Allah yang membuat. Beda dengan manusia. Rukhin saya tanyai: mengapa bisa tahu kitabku warna putih. Jawabnya: karena saya punya mata, Gus. Itu bodohnya manusia, justru punya dan memakai mata itu yang menurut Quran membuat manusia tidak melihat/tahu. 

Masalah melihat dengan mata adalah ketika matanya sudah rabun, atau barang yang dilihatnya berada jauh, itu membuat manusia tidak bisa melihatnya. Kalau menurut Quran tidak begitu: Yang menjadikan tahu/melihat itu adalah karena penciptaan, yang membuat. 

Karena itu di Quran ada ayat:
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ 

ala ya'laamu: ana ta ora eruh
(sapa?) man: wong 
khalaqa: kang nggawe (sapa? man) 

Angger wong sing nggawe ya mesti eruh.
Misalnya begini: saya ini insiyur, atau desainer, atau tukang batu yang membuat Monas. Di Monas saya taruh emas sekilo lalu saya tutupi beton lagi. Lalu saya pulang ke Bedukan Jogja. Ketika saya ditanyai: Di Monas itu ada apa saja?
Jawab saya: Ada emas sekilo, di kedalaman sekian. 
Lho kok bisa tahu?
Lha memang saya yang membuatnya. 😁
Karena itulah Allah mengisnadkan ngerti dengan nggawe.

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ

Sudah tidak ada di tempat pun ya masih tahu, karena yang membuat. Kalau nggak tahu itu karena memakai mata, tiap barang tertutupi, mata tidak akan bisa melihat. Atau kau tahu tapi kau bukan pembuatnya. 

Masalahnya Allah itu tidak akan tertipu, karena Dia yang membuat, yang menentukan, tidak ada yang menguasai-Nya, jadi sekali dhawuh selalu sesuai dengan dhawuh-Nya. Beda dengan manusia, berjanji saja kadang tidak bisa menepati, karena ketika akan menepati ada kondisi tidak memungkinkan. 

Karena itu penting latihan logika Quran. Kau jangan kelamaan menjadi orang bodoh: tahu karena mata. Itu amatir. Sebenarnya tahu itu karena yang membuat. Itulah mengapa Quran mengisnadkan ilmu dengan khalqu.

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ 

ala ya'lamu: ana ta ora ngerti
(sapa?) man: wong 
khalaqa: kang nggawe (sapa? man)
Karena yang membuat. 

KAU BENCI ORANG ZHALIM?
Kau sekarang ingin anakmu shaleh, tapi ya juga hanya sekadar kepingin doang. Kalau Allah pengen membuatnya jadi zhalim gimana, kau mau apa? Kau jengkel sekali dengan orang fasiq, tapi jika Allah menghendaki ia bertobat kau mau apa?
Itulah mengapa sirrinya agama itu adalah tawakkal,
sampai Nabi yg sudah Nabi kekasih Allah saja berdoa:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

ya muqallibul qulub tsabit qalbi ala dinik
Siapa yang akan tahu?
Malamnya masih jima' istri, besok paginya cerai. siapa yang akan tahu. Karena itu di bab thalaq itu ada larangan aja geman megat bojo sing mau bengi dijimak. kalau manimu jadi, iddahnya panjang. Karena tidak ada yang bisa tahu. 

Itulah mengapa ini penting. 
Seperti apa bencinya Nabi pada Wahsyi karena pembunuh paman Rasulullah, Sayyid Hamzah? Tapi malah Allah memberi hidayat pada Wahsyi. Sebab itu ada ayat:

لَيْسَ لَكَ مِنَ ٱلْأَمْرِ شَىْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ 

Bukan urusanmu (Muhammad), soal hidayat itu bukan urusanmu.

Itulah mengapa seperti apapun sholehnya manusia, tetap diminta berdoa: 

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

ihdinash shirathal mustaqim 
lalu disuruh berdoa:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

ya muqallibul qulub tsabit qalbi ala dinik

Kau boleh benci orang munafik, karena memang orang munafik itu parah berbelit-belit. Tapi dhawuh Allah begini:

لِّيَجْزِىَ ٱللَّهُ ٱلصَّٰدِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ ٱلْمُنَٰفِقِينَ إِن شَآءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ

Kayak apa Allah benci dengan orang munafiq. Tapi Allah masih ngendikan bisa saja aku menyiksa orang munafiq, ketika Aku berkehendak, tapi bisa saja au yatuba.

Karena itu semua orang alim pasti ragu-ragu, untuk terlalu benci orang pasti tidak bisa. Tiap orang yang terlalu membenci orang lain pasti agak tidak alim, karena tidak ada ayat sosial yang Allah tidak memberi alternatif, pasti ada alternatif:

وَيُعَذِّبَ ٱلْمُنَٰفِقِينَ إِن شَآءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ

Jadi orang munafiq yang kau benci pasti disiksa Allah? Kata siapa, ya insya a, jika Allah ngersakna. Tapi bisa saja yang dikersakna bertobat.

Ini penting saya utarakan. Lalu mengapa Allah bisa demikian? Karena dia yang menciptakan, sementara kita nuruti rasa benci kita. Lalu yang bisa mengatur dunia siapa?

Oleh karena itu orang alim tidak punya sikap jelas. Malah diejek oleh islam2 anyaran:
"Nggak tegas. Gimana masalah sosial kok nggak tegas?"
Disuruh tegas bagaimana, sini ngajinya khatam sedang kau tidak khatam? 

Dalam banyak hal kita tidak mungkin tegas. karena bagaimana kamu menegasi masalah2 hati? Kau sekarang suka saya, bisa saja besok nggak. Besok lusa senang pada saya lagi. Kambuhan.

Malam istighfar menangis. Paginya jelalatan lagi. 😆
Bar ndelok wong ayu istighfar nangis, bar wiridan malah sombong.

Imam Ghazali, beliau termasuk perawi hadits:

إِنَّ لِلْعِلْمِ طُغْيَانًا كَطُغْيَانِ الْمَالِ

Lalu beliau mengqiyaskan:

إن للعبادة طغيانا كطغيان المال

Coba saja, tahajud hingga dua minggu, puasa hingga dua minggu, kamu akan nampak sudah berhak menyuruh orang, sebab kau orang sholeh, dia nampak tidak sholeh. Lho katanya ibadahmu untuk Allah kok kau pakai berlagak angkuh, tiap orang kamu tunjuk2, kau suruh2. Jadi ibadah itu punya tughyanan, punya keangkuhan sendiri.

Ilmu juga begitu, punya keangkuhan sendiri. Misalnya begini. Rukhin janjian dengan saya. Jika Rukhin melanggar janjian, seolah orang2 wajar menyalahkan dia karena saya orang alim: Disuruh guru kok ... Tapi ketika saya yang melanggar, dibilang "boten napa2." Artinya kealiman saya mengesahkan melanggar janji. Kelakuan kok seperti itu. Karena itu:

إِنَّ لِلْعِلْمِ طُغْيَانًا كَطُغْيَانِ الْمَالِ

Ilmu itu punya keangkuhan, punya kelacutan, seperti lacutnya orang yang memiliki uang.

Karena itu orang alim lalu pada tertutup, jarang menyuruh2 santrinya, karena khawatir tughyan. Karena kalau mengatur orang lalu tidak dipatuhi, dia jadi tersinggung. Tapi jika yang melanggar janji dirinya sendiri, seolah wajar. Ini kan keangkuhan. Ibadah juga sama.

Itulah mengapa lalu Allah supaya hamba-hamba-Nya yang shalih tidak sombong, akhirnya diacak. Termasuk diacak, selevel Rasulullah saja tidak diberi otoritas memberi hidayah.

YANG SUKA SAYA, YANG MENGAJI SAYA: JANGAN TERBIASA MEMVONIS-VONIS ORANG

Karena itu saya mohon, yang mencintai saya, yang mengaji saya, jangan terbiasa memvonis2. Kau kalau tidak cocok dengan orang, sudah misuh biasa saja: jancuk kakekane. 😆 Yang penting tidak jadi bisul. 😆 Itu lebih ringanlah, daripada melabel-labeli ini kafir, ini.... Nggak usah.

Kau kalau misuh itu kan sudah biasa: pertama kau nggak nabi saja, ya pantas saja. Nomor dua kita orang pesisir ya sudah biasa pisuhan. Itu kan kultur saja, bukan bukti benci. 

Tapi kalau kau melabeli, itu terkait agama. Sekarang ini biasa melabeli orang: "bid'ah", "itu menentang Kanjeng Nabi".

Siapa sih yang menentang Kanjeng Nabi? Siapa? Orang tidak melakukan sunnah Nabi itu tidak berniat menentang Nabi. Ya memang begitu. Seperti kamu sekarang melanggar janji, apa itu lalu niat menentang Nabi? Kau tidak jenggotan, apa niat menentang Nabi? Kau nggak cingkrang berarti menentang Nabi? Tidak ada niat menentang. Ya nggak tahu saja.

Jadi jarang perilaku orang mukmin itu diniati menentang Nabi. Kalau salah ya salah saja, diakui. 

رَبَّنَا ضَلَمْنَا أَنْفُسَنَا 

Allah itu kalau mencipta pasti banyak gunanya. Ya sudah begitu. Lalu kau mau lebih suka sumur daripada WC? Ya tidak bisa. Sumur itu tempat bersih. Tapi kata kyai kuno: "angger ana sumur gedhe, ya gedhe pecerene." (tiap ada sumur besar, pasti besar pula pembuangannya).

Kalau ada sumur nggak ada saluran pembuangannya, lalu bagaimana kamu memakainya?
Tapi kalau sudah pembuangan itu wajib kau benci. Apa karena pembuangan itu ada hikmahnya lalu kau akan mandi air pembuangan? Ya nggak gitu. Tapi kalau ada sumur, jangan anti pembuangan. Mau kau buang ke mana air sisanya? 
Jika kau ditanya: 
"Sumur bagaimana?"
Suci. 
"Pembuangan bagaimana?" 
Hukumnya najis. Masak akan tidur di situ? 
"Kalau begitu, tidak usah ada barang najis!"
Apa lalu nggak usah ada pembuangan? Pembuangan juga penting. 
"Lalu bagaimana?"
Ya, nggak bagaimana-bagaimana. Mulai dulu ya seperti itu. Mengapa kau perberat? Sukanya kok bertanya hal yang tidak penting. 

Kau bisa menjawab pertanyaan itu? Nah itu latihan hakekat. Kurang lebih perjalanan haq dan bathil itu seperti itu. Tapi kau hakekat terus ya gila. Ya biasa saja. Tidak usah kau perdalam lagi. 

Makanya mazhab ahli sunnah wal jamaah itu begitu: Semua di dunia ini kehendak Allah. Kau tidak usah bertanya mengapa Allah membuat maksiat. Allah kok kau tanyai. Tidak usah kau tanyai. Kau kecangkeman itu sudah ngelunjak. Bertanya saja itu sudah ngelunjak. Allah kok dipertanyakan. Oleh sebab itu Allah kadang ngendikan: 

لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُونَ 

Contoh paling gampang begini. Saya menyampaikannya berkali-kali. Ini karena urusan iman ya. Sampeyan harus seperti saya dalam hal iman, karena ini yang ada sanadnya:

Saya punya rumah. Dengarkan ya. 
Saya punya rumah. Kemudian rumah itu saya desain ada ruang tamu, yang ada sofa, ada AC. Ibaratnya ada tahi cicak jatuh saja, akan saya bersihkan karena ini ruang tamu. Semua steril. Bagus. 

Lalu di bagian belakamg rumah saya membangun MCK. Ada macam2. Berak di sana. Kencing di sana. Kalau ada baju kotor ya di sana. Bak di sana. Ya sudah. Nasib tanahnya ya mengeluh betul: Ya Allah. Sama2 tanahnya, nasib tanah depan bagus. Nasib saya dipakai pembuangan kotoran, macam2. 

OK, itu yang punya saya. Lalu lama-kelamaan kamar tamu jadi sombong: Lebih mulia diriku, dibersihkan selalu oleh tuan rumah. Kau itu apa? 

Lalu saya sebagai tuan rumah mengubah bangunan. Dulu rumah saya menghadap utara, saya bongkar menghadap selatan. Yang WC saya jadikan ruang tamu, yang ruang tamu saya jadikan WC. Apakah itu berarti saya zhalim, sedangkan itu rumah saya sendiri? Tidak. Jawab saja: saya dzalim nggak wong itu rumah milik saya sendiri? Tidak.

Nah, kira2 seperti itu: 

ٱللَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَآءُ

Yang sholeh dijadikan zhalim di akhir hayatnya. 
Yang zhalim dijadikan sholeh di akhir hayatnya.

Oleh karena itu berhubung kita tidak menciptakan, kita hanya berharap saja husnul khatimah. Tapi tidak bisa menentukan. Itulah mengapa disuruh berdoa:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Kau tidak bisa mengandalkan keshalihanmu. Keshalihanmu modal apa? 

Karena itu, latihlah ikhlas. Saya mengajar ya mengajar saja. Kalau disuruh mengatur kalian tidak berani saya. Bisa saja kalian lebih mulia daripada saya. Meski tidak tahu ada kemungkinannya apa tidak, sudah pokoknya begitu. 😆 Untuk menjadi peringatan supaya saya tidak ujub, bisa saja kalian lebih afdhal daripada saya. 

Ya begitu supaya tidak ujub. Sebenarnya di hati saya juga: Benar apa nggak itu? 😆 Pokoknya untuk menghilangkan ujub itu:

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ 

Orang tidak usah sok suci, sok bersih. Allah semata yang paling tahu mana yang paling taqwa.

***
sepenggal Pengajian Tafsir Jalalain, hlm. 1908-1911
Q.S. Luqman 27 - 34
22 Januari 2018, pukul 21.00

Sumber Facebook : Via : Sofyan Stauri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metode Pembelajaran Efektif di Sekolah Dasar

"Pemilihan Umum: Pilar Demokrasi dalam Membentuk Masa Depan Bangsa"

Sinopsis naskah Zetan