CERPEN Karya: Jainal Butbet




Persiapan Bekal Penyuluhanku
karya: Jainal

Kala mentari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, aku terbangun dari tidur dengan mata yang sedikit sembab menandakan bahwa rasa kantuk itu masih ada. Aku coba bangkit dari tempat tidur lalu membuka daun jendela di kamarku. Langit yang cerah dihiasi awan putih dihembusi angin pagi yang sepoi-sepoi menambah nikmatnya pagi itu.
“Hmm, betapa indahnya pagi ini. Coba setiap hari seperti ini, pasti para pekerja, anak sekolah, serta diriku sendiri akan lebih memacu hasrat untuk hidup lebih lama lagi,” ucapku dalam hati.
Setelah beberapa menit berdiri di depan jendela aku pun kembali ke tempat tidur. Bukan niat untuk melanjutkan tidur kembali, tetapi  untuk membersihkan dan merapikan tempat tidurku.Tapi pandanganku langsung tertuju pada salah satu benda di samping lemari kayu di sudut kamar.
Kulangkahkan kakiku untuk menghampirinya, benda itu adalah tas koper yang terletak di sudut kiri samping lemari di kamarku. Tas koper berwarna hitam, beroda dua di samping kiri dan kanannya, memiliki dua bagian penting yaitu badan koper yang lebar dan besar serta satu bagian depan yang kecil sebagai pelengkap. Koper itulah yang selalu kubawa jika kuingin pergi ke mana-mana, sebab koper itu memiliki kapasitas kantong  yang cukup menampung barang-barang kesukaanku. Kuangkat perlahan dan kucoba untuk membersihkannya dari debu-debu bilik kamar.
Penyuluhan yang menguras pikiran dan tenaga akan kulakoni lagi. Penyuluhan kali ini adalah yang terjauh. Dulunya hanya di lingkup Kahayan dan Kapuas tetapi kali ini akan dilakukan di daerah Barito. Tempat yang terpilih adalah desa Bangkuang, di Kecamatan Karau Kuala, Barito Selatan.
“Andai saja tempat yang terpilih adalah Barito Utara pasti aku merasa seakan pulang kekampung halaman. Semoga saja di tahun mendatang tempat yang terpilih adalah Barito Utara,” harapku dalam hati.
Jadwal keberangkatan penyuluhan pun diumumkan, tibalah saatnya untukku mempersiapkan segala sesuatu sebagai bekal penyuluhanku. Mulai dari baju dan alat tulis hingga keperluan lainnya seperti perlengkapan makan, mandi, kostum gebyar-gebyar, sepatu, kaos tangan, dan peci. Tidak banyak baju yang kubawa, hanya  untuk empat hari. Alat tulis pun sekadarnya saja, pulpen lima dan kertas folio satu pak. Tidak lupa juga kusiapkan sepasang sendal jepit untuk dipakai di penginapan nanti.
Pakaian penyuluhan pun kusiapkan dengan teliti, takutnya ada yang rusak, maklum sajalah pakaian menyuluh itu kan bekas tahun lalu saat aku masih jadi pengamat. Kuperiksa satu per satu dan kemudian kumasukkan ke tas koper kesayanganku.
Satu hari menjelang keberangkatan, entah mengapa aku masih merasa ada yang kurang. Untuk memastikan semuanya telah benar-benar siap, kubuka kembali koperku dan memeriksa isinya.
“Alhamdulillahirobbilalamin, sudah lengkap,” kuucap syukur dalam hati.
Embun pagi yang sejuk dan dingin menembus kulitku pada hari keberangkatan. Betapa tidak, semua peserta diharuskan berkumpul di FKIP Unpar pukul 05.00 WIB. Alasan panitia agar mudah mendata peserta  juga supaya tidak ada yang terlambat dan tidak ketinggalan. Di tengah perjalanan menuju fakultas, tiba-tiba, Aris seorang temanku berkata sambil memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya.
“ Duhhh, dingin sekali,” ucap Aris teman seangkatanku yang kebetulan pagi itu berangkat bersama-sama.
“Ya, sangat dingin. Baru kali ini kita berangkat pagi sekali,” sahutku.
“ Ya, juga sih, uhh...dulu kita biasanya kumpul tidak sepagi ini,” jawabnya kembali dengan nada kesal.
Sambil menunggu peserta lain dan jam keberangkatan menuju Bangkuang kami berdua terus berbincang sambil duduk di trotoar pinggir  jalan di fakultas.
 “ Oh iya, apakah bekal penyuluhanmu sudah lengkap?” tanyaku padanya.
“ Sudah,” jawabnya singkat.
“ Kamu bagaimana?” temanku balik bertanya.
“ Sama, bekalku juga sudah siap,” jawabku dengan pasti.
Ada satu bekal penting yang harus kupersiapkan selain barang, pikiran dan tenaga yaitu bekal mental. Bekal ini lebih penting dari bekal apa pun. Bagiku bekal mentallah yang menjadi modal pertamaku di dunia penyuluhan.

Kampus PBSI 2011




Perjalananku Pengalamanku
Oleh: Jainal

Kuliah, kuliah dan kuliah. Hanya itu yang aku lakukan setiap hari. Begitu juga dengan tugas, selesai satu tumbuh lagi tiga. Rasa bosan melanda, hati kecilku pun memberontak, ingin menghilang dari semua masalah yang ada. Ujian semester pun tiba, dan akhirnya waktu libur menghampiriku, mungkin inilah saatnya untukku memanjakan diri, bersantai tanpa tugas dan masalah. Satu minggu ke depan libur kuliah, maka kami anak PBSI Universitas Palangkaraya angkatan 2009 bersiap untuk mengisi liburan ke Bali. Sore itu kira-kira pukul 15.45 WIB, aku pergi ke bandara untuk menemui teman-teman yang sudah lebih dulu berkumpul.
“Aris, kenapa ya perasaanku dari kemarin malam kok gelisah terus?” tanyaku pada teman kampusku.
“Ah, mungkin cuma perasaanmu, dibawa santai, dan berdoa saja,” jawabnya padaku.
“Ya, mungkin dengan berdoa kegelisahan ini akan menghilang,” ucapku kembali padanya
Waktu keberangkatan pun tiba, satu per satu rombongan memasuki pesawat. Aku duduk di kursi paling belakang. Gugup, gelisah, khawatir, takut hilang di tikungan, itu yang kurasakan sebelum pesawat tinggal landas. Gemuruh mesin menambah debaran jantung, berdegup semakin kencang saat tinggal landas. Naik, naik dan terus naik hingga mencapai awan. Kucoba melemparkan pandanganku keluar melalui kaca jendela pesawat, yang bisa kulihat hanya warna putih dan biru. Berkali-kali pesawat menabrak sekumpulan gumpalan awan putih yang menyebabkan getaran, rasa panik terus berkecamuh dalam diriku.
“Aris, takut,” ucapku dengan nada lirih kepada teman di sebelahku.
“Aduh, nggak usah takut, pejamkan matamu sambil berdoa,” jawabnya sambil memberikan jaket padaku.
 Tak terbayang kalau jatuh, kemungkinan untuk selamatnya nol koma nol sekian persen. Karena baru pertama tidak terbiasa dengan yang seperti itu, makanya aku pun pusing dan sedikit mual. Kukeluarkan minyak kayu putih yang memang sengaja kusiapkan untuk perjalanan panjang seperti yang sekarang ku alami.
Ehm… Nal bisa minta minyak kayu putihnya sedikit tidak?” tanya Wenny temanku yg duduk di kursi depan.
Ya, boleh kok, Wen...ucapku sambil menyodorkan botol mungil itu.
Terima kasih, ya, Nal,ucap Wenny sambil menuangkan minyak kayu putih di telapak tangannya kemudian mengusapkannya pada keningnya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum lemas, karena sudah sangat pusing. Beberapa kali kucoba memejamkan mata, tapi selalu saja melek saking takutnya. Kututup kepalaku dengan jaket agar rasa takut itu hilang. Tiba-tiba aku merasakan tubuhku diguncang-guncang oleh sepasang tangan, tak hanya itu, aku juga mendengar suara-suara
NalNal.,” kata suara itu
Uahh…Kenapa?” tanyaku
Suara tadi tak menghiraukan pertanyaanku, malah dia mengguncang-guncang kembali tubuhku
Nal, kita sudah sampai di Surabaya” Kata suara itu yang ternyata pemiliknya adalah Wenny yang tadi meminta minyak kayu putih padaku.
“Hah, Surabaya, kok bisa,” ucapku sambil membuka kedua bola mata dan tercengang penuh kebingungan.
“Ya, dari Surabaya kita akan melanjutkan perjalanan menuju Bali menggunakan bus,” jawab Wenny padaku.
Mendengar kata Bali semangatku kembali muncul, rasa pusing dan mual itu hilang seperti disapu angin. Tak sabar lagi rasanya menginjakkan kakiku di pantai Bali yang dulu hanya bisa kulihat lewat televisi. Seakan  bermimpi, kini aku menikmati indahnya pantai Bali yang terkenal itu dan melihat bule-bule mancanegara di saat matahari terbenam, tanpa tugas dan masalah. Tak akan kulupakan pengalaman berharga ini.
“Ayah, ibu, lihatlah kini anakmu berada di Bali. Semoga suatu saat nanti kita ke sini, ke Bali ini, bersama-sama,” ucapku dengan penuh harapan.

Kampus PBSI FKIP Unpar 2011



 

Perjalanan Pulang
Oleh: Jainal

Siang itu di kampus saat pelajaran kuliah berlangsung, aku sedang mendengarkan penjelasan seorang dosen. Tiba-tiba ponselku berdering.
Mau dibawa ke mana hubungan ini, jika kau terus menunda-nunda dan tak pernah nyatakan cinta,” pertanda ada pesan masuk dengan nada yang tak begitu nyaring.
Kuambil perlahan, dan kubuka pesan itu, mataku langsung tertuju pada tulisan di layar ponsel, ada pesan yang muncul.
Nal, aku ikut pulang,” sebuah pesan dari teman kampusku, Ummy namanya.
Setengah tak percaya aku membacanya, bayangan yang selalu mengganggu pikiranku, seseorang yang kusukai sejak pertama kuliah, kini aku akan bersama dengannya.
Ya, setelah kuliah berakhir,” tanpa pikir panjang jari-jariku mengetik pesan balasan.
Oke, jam 12, ya,” balasnya kembali.
Pelajaran pun usai, kulirik jam pada ponsel, waktu menunjukan pukul 12.00 WIB tepat. Aku pun merapikan buku-buku, mengambil tas ransel, dan pamitan pada teman-teman sekelasku. Aku melangkah keluar kelas dengan hati berdetak tak berirama. Aku pun langsung bergegas menuju motor yang berada di parkiran, ternyata Ummy masih belum ada.
“Syukurlah dia belum ada, jadi masih ada waktu untuk menata detak jantungku,” gumamku dalam hati
 Aku pun menunggu, waktu terasa berjalan lambat saat aku menantikan sesuatu. Tak lama kemudian muncullah seseorang dengan langkah pasti, wanita dengan sosoknya yang menggoda pikiranku selama ini. Rambutnya yang lurus, kulitnya yang putih, tangannya yang lembut, dengan wajah uniknya yang terukir sempurna. Tanpa banyak basa-basi kami berdua pun naik ke atas motor.
“Nal, kamu tahukan jalan menuju rumahku,” tanya Ummy padaku.
“Ya, aku tahu,” jawabku dengan pasti.
Motorku perlahan melaju di atas aspal yang panas. Suasana sedikit canggung namun perlahan mencair, percakapan-percakapan mengalir sesuai suasana. Kadang sedikit menyinggung tugas kuliah, terkadang tentang keluarga, bahkan tentang diri sendiri. Sesekali kucuri pandang wajah cantiknya melalui kaca spion motorku.
“Sungguh indah, alangkah bahagianya seorang lelaki yang dapat memilikinya,” gumamku dalam hati.
Tangannya yang merangkul erat di pinggangku, membuatku merasakan sensasi yang aneh. Aku merasa kembali ke masa-masa sekolah dulu saat-saat aku mulai mengenal namanya pacaran. Masa-masa saat banyak wanita mencoba mengenalku, dan masa-masa ketika aku mulai menggoda wanita.
Tak terasa tempat tujuan sudah di depan mata. Jalan aspal yang mulai terkelupas, batu-batu yang bermunculan, melintasi gang-gang sempit, akhirnya tiba di sebuah rumah dengan cat putih, yang sebagian sisinya terdapat warna ungu, memiliki pagar besi berwarna hitam, dihiasi tanaman-tanaman bunga, dengan atap genteng berwarna biru, yang berhadapan langsung dengan sebuah masjid.
Kukurangi laju motorku dan perlahan berhenti tepat di depan rumah itu. Rumah keluarga Ummy.
“Sudah sampai,” ucapku pada Ummy.
“Ya, akhirnya sampai juga,” jawabnya dengan nada gembira.
“Terima kasih ya, Nal!” ucapnya kembali seraya turun dari atas motor.
“Ya, sama-sama, aku pulang ya,” seraya memutar balik arah motorku.
Dalam perjalanan  singkat menuju pulang, hatiku bertanya-tanya, mungkinkah sesuatu akan terjadi pada kami berdua. Apakah cinta itu akan tumbuh? Apakah cinta itu akan bersemi? Masih adakah cinta untukku? Cinta yang selalu kunanti dan kuharapkan.

Kampus PBSI Unpar 2011







Selembar Cerita Segores Perasaan
karya: Jainal

Semilirnya angin yang berhembus sore itu, dengan langit yang mendung pertanda hujan akan turun. Hujan bukanlah alasan untuk bermalas-malasan. Janji adalah janji tidak akan kucewakan dosenku hanya karena hari mau hujan, semangat kuliah harus tetap berkobar walau badai sekalipun tak akan jadi masalah dan beban pikiran. Akupun mempersiapkan buku-buku, memasukannya kedalam tas ranselku,  dan pamitan pada teman kosku. kulangkahkan kakiku menuju motor dan bergegas kekampus kuliah. Dimana sore itu terdapat mata kuliah penulisan kreatif sastra.
            Pukul 15.00 WIB, mahasiswa angkatan 2009 berkumpul di kampus. Dosenku pak Lukman pun datang, dan perkuliahan pun dimulai. Semua mahasiswa duduk rapi sambil memegang beberapa lembar kertas di tangannya masing-masing.
            “Kumpulkan cerpen yang saya tandai untuk konsultasi hari senin,” ucap pak Lukman dengan nada lantang.
            Akupun dengan segera mengumpulkan cerpenku dengan hati yang berdebar penuh tanda tanya.
            “Apakah cerpenku akan ditolak atau malah sebaliknya,” ucapku dalam hati dengan perasaan was-was.
            Hari yang semula mendung kini berubah menjadi butiran-butiran air yang menetes dari langit. Hujan yang turun begitu lebat membuat rasa dingin pada tubuhku. Suasana yang sejuk dan dingin menembus kulit hingga ke tulang.
            “Andai saja di kampus ini tersedia kasur dan selimut, ingin rasa aku merobohkan tubuhku beristirahat dan tidur,” ucapku dengan penuh harap.
           
            Satu per satu mahasiswa dipanggil untuk mempertanggungjawabkan cerpennya. Ada yang diganti, ada yang diperbaiki, bahkan ada juga cerpen yang ditolak. Gugup, gelisah, khawatir, takut kalau cerpenku ikut-ikutan ditolak itu yang aku rasakan saat menanti giliranku. Setelah menunggu begitu lama akhirnya tibalah giliran cerpenku yang diperiksa, tetapi entah mengapa bukan namaku yang dipanggil melainkan teman kampusku Ummy.
            “Coba kau bacakan paragraf terakhir dengan suara yang kuat,” ucap pak Lukman pada Ummy.
Dengan segera dan tanpa pikir panjang Ummy pun membacakannya.
Dalam perjalanan  singkat menuju pulang, hatiku bertanya-tanya, mungkinkah sesuatu akan terjadi pada kami berdua. Apakah cinta itu akan tumbuh? Apakah cinta itu akan bersemi? Masih adakah cinta untukku? Cinta yang selalu kunanti dan kuharapkan,” ucap Ummy saat membacakan cerpen paragraf terakhirku.
Kelas pun menjadi sangat ramai, semua mahasiswa jadi tertawa setelah mendengar cerpenku dibacakan Ummy. Disaat itu pula aku menjadi bahan tawaan mereka bahkan ada yang mengolok-olok, tapi itu aku anggap sebagai candaan saja. Aku yang duduk di kursi jadi tersipu malu, dan bahkan salah tingkah. Orang yang kusukai ternyata membacakan cerpenku di depan kelas.
“Tidak kusangka kan jadi begini,” ucapku dengan nada pelan.
Namaku  dipanggil untuk mempertanggngjawabkan cerpenku. Dengan langkah yang sedikit takut dan malu-malu akupun menghampiri dosenku di depan kelas.
“Nal, pernah kau ungkapkan perasaanmu?” tanya pak Lukman
“Pernah pak!” jawabku singkat namun pasti.
“Terus apa jawaban Ummy atas perasaanmu?” tanya pak Lukman kembali
“Biasa saja pak, lebih baik kami berteman saja dulu, cinta tak mesti memiliki, cinta yang dipaksakan hanya akan menimbulkan sakit hati,” balasku dengan sikap tersipu malu.
Tak pernah terpikirkan olehku pertanyan demi pertanyan semacam itu akan menghampiriku. Rasa takut, malu, gelisah bercampur aduk hingga membuatku bingung atas apa yang akan kulakukan selanjutnya. 
Goresan perasaan dalam hati kecil yang kutuangkan kedalam sebuah cerpen mendapatkan respon yang positif dari dosenku. Awalnya aku ragu akan cerpenku takut ditolak tetapi malah sebaliknya. Selama ini diam-diam aku memang mengagumi Ummy teman sekelasku, entah itu hanya kagum ataukah aku memang jatuh cinta padanya. Dengan cerpen itu aku bangga selain sebagai tugas kuliah juga sebagai ungkapan yang mewakili perasaanku saat ini.

Kampus PBSI Unpar 2011

           
           





Postingan populer dari blog ini

Metode Pembelajaran Efektif di Sekolah Dasar

"Pemilihan Umum: Pilar Demokrasi dalam Membentuk Masa Depan Bangsa"

Sinopsis naskah Zetan