Kisah Perjuangan Christian Simbar, pejuang Dayak yang melegenda
Christian Simbar, pejuang Dayak yang melegenda
Alkisah, minggu pagi, 22 November
1953. Christian Simbar dan pengikut Dayaknya menyerbu kota Buntok. Mereka membebaskan rekan-rekannya
yang ditahan, tapi membunuh juga enam polisi dan enam anggota keluarga polisi,
termasuk tiga anak-anak (Indonesia Berdjuang, 25-11-1953). Pejabat kepala
distrik termasuk di antara mereka yang dibunuh. Pelakunya melarikan diri
membawa persenjataan polisi.
Siapakah
Christian Simbar dan apakah motif penyerangan pasukannya itu?
Insiden
Buntok (1953)
Dalam
esainya yang cerkas berjudul Colonizing Borneo: State-building and Ethnicity in
Central Kalimantan (2006), Gerry van Klinklen mendedahkan bahwa Christian
Simbar (alias Uria Mapas) adalah pemimpin utama Tentara Lawong. Dia sekretaris
kepala distrik (wedana atau camat) di Buntok. Kota kecil pinggir sungai di
tanah Dusun Dayak ini terletak sekitar 50 km barat laut Tamiang Layang.
Tentara
Lawong adalah semacam kelompok siaga 'Dayak Kristen' yang sebelumnya disponsori
Belanda untuk melawan penetrasi gerilyawan Republik Banjar ke tanah Dusun dari
Hulu Sungai ke Tenggara. Tentara ini tetap ada sesudah masa transisi ke
kemerdekaan, dan muncul kembali dalam catatan tertulis pada akhir 1953 di
Tamiang Layang, di wilayah tanah Dusun dari Hulu Sungai. Pada dasarnya Tentara
Lawong telah menjadi kelompok lokal yang tidak lagi terikat pada tujuan politik
yang lebih luas. Jelas bukan organisasi Kristen yang ortodoks, melainkan aktif
dalam pengkultusan 'mistik' pribumi.
Tujuan
utama kelompok bersenjata ini adalah mempertahankan kepentingan lokal terhadap
orang-orang luar yang bermusuhan. Bisa saja bahkan menjalin hubungan samar
dengan KRJT (Kesatuan Rakjat Jang Tertindas) yang dipimpin Ibnu Hadjar, yang
walau bersekutu dengan Darul Islam, tetapi lebih mirip gerakan akar rumput
non-religius yang menolak kontrol hegemonik negara (Iqbal, 2014).
Dukungan
besar lokal terhadap Tentara Lawong tidak disebabkan karena alasan ideologis,
melainkan karena praktiknya merompak perahu-perahu dagang yang melintas dan
membagikan hasilnya-dengan gaya Robin Hood-kepada kaum miskin dan
termarjinalkan. Para penyerang dari Tentara Lawong telah merompak perahu-perahu
di Kurau, Negara, dan akhirnya di Kalahien, dekat Buntok.
Mereka
bertindak seperti orang-orang yang berkuasa, mengenakan seragam pemerintah,
juga ketika membagikan hasilnya kemudian. Namun insiden di Kalahien pada akhir
1953 dianggap keterlaluan oleh polisi yang menahan sejumlah anak buah Simbar
karena merompak kapal sungai milik Tionghoa, Gin Wei II. Empat orang dari yang
ditahan adalah sanak keluarga Simbar, dan Simbar memutuskan untuk memukul
balik.
Serangan
Buntok dilancarkan oleh sebuah gerakan bernama "Telabang Pantjasila Sektor
Dajak". Telabang (atau telawang) adalah perisai. Nama gerakan ini jelas
mengacu pada Pancasila sebagai ideologi nasional Indonesia untuk membuktikan
loyalitasnya pada Jakarta. Para penyerang dimotivasi oleh pelbagai kekecewaan
seperti korupsi pemerintah dan pembatalan program drainase rawa-rawa. Kelompok
ini menambahkan 'siap mati' untuk Pancasila, tak sangsi lagi, dengan tujuan
mengambil hati para sponsor potensial di Jakarta.
Hari
berikutnya kelompok ini mengubah namanya dengan istilah Dayak yang lebih megah,
tetapi agak kurang terbuka, yakni 'Mandau Telabang Pantjasila'. Mandau adalah
pedang Dayak. Ditahbiskan bahwa pemimpinnya adalah Ch. Simbar alias Mandolin,
tokoh suku Dayak Ma'anyan. Yang terpenting ialah bahwa kelompok ini melawan
persekutuan longgar gerakan-gerakan pemberontakan anti-Jakarta, yaitu KRJT,
Darul Islam, dan Tentara Islam Indonesia.
Simbar
jelas bukan paria. Dia adalah pejabat pemerintah setempat yang kini berbicara
atas nama banyak rekan pejabat di wilayah Dayak ini.
Dalam
sebuah pertemuan panjang dan simpatik dengan sebuah delegasi tokoh-tokoh Dayak
berkekuasaan tinggi yang dipimpin oleh bupati Barito, G. Obos, pada Desember
1953 Simbar mengajukan pembelaan ideologis yang menonjol terhadap
tindakan-tindakannya. G. Obos menjelaskan, Simbar terdorong oleh rasa
ketidakadilan yang diderita oleh orang Dayak, menentang korupsi dan
pemberontakan-pemberontakan Islam, dan dia serta anak buahnya akan menyerahkan
diri asalkan mereka direkrut menjadi polisi atau tentara.
Sepertinya
sebuah kesepakatan telah tercapai, sebab hari berikutnya Simbar menyerah dengan
129 pengikutnya. Semuanya dibawa ke Banjarmasin. Pertemuan tingkat tinggi lain
menyusul di sana antara para pemimpin Dayak dan wakil gubernur, polisi, dan
kantor kejaksaan. Dus, kebanyakan orang itu dibebaskan.
Polisi,
yang masih sakit hati karena anggotanya menjadi korban dan tidak ingin
melepaskan tuntutan-tuntutan hukum begitu saja, bersikeras menahan para
pemimpin teras kelompok Simbar dan menuduhnya dengan perompakan atas kapal Gin
Wan II. Namun pertengahan April 1954 Simbar boleh dikatakan seenaknya
meloloskan diri dari tahanan dan naik bus ke utara menuju tanah asalnya. Bulan
Agustus diumumkan bahwa semua tuduhan terhadap Simbar dan rekan-rekannya
dicabut. Masih jengkel, polisi semula bersikeras Simbar harus mengambil surat
pembebasannya itu sendiri, tetapi akhirnya tuntutan itu pun dicabut.
Pada
Juni 1954 Simbar kembali menjadi headline media cetak setempat. Ia sekali lagi
memimpin organisasi bersenjata bernama 'Telawang, Mandau, dan Pantjasila'
-kadang-kadang disebut juga 'Telabang Mandau Dajak Kalimantan'. Dia masih
berpangkalan di daerah aliran Sungai Barito sekitar Buntok dan Muara Teweh.
Dua
bulan kemudian dia telah berjalan sejauh 150 km ke barat memasuki daerah aliran
Sungai Kahayan, tempat dia memberikan 'pengetahuan mistik' (ilmu) kepada orang
Dayak Kaharingan dan Dayak Kristen dan mendorong mereka bergabung dengan
angkatan bersenjatanya. 'Ribuan' orang menyambutnya. Simbar menyatakan kepada
pers, bahwa pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah dengan sarana 'demokratis'
adalah mendesak.
Kecemerlangan
Simbar adalah bergerak 'licin' mengularkambang, maju-mundur menurut
keinginannya di antara kota dan hutan rimba. Kadang ia memainkan peranan
sebagai calon suku Dayak untuk pemilihan umum. Kadang ia sebagai pemimpin
gerilya bersenjata. Bulan Mei 1955, sesudah keluar dari hutan rimba, dia tampil
di antara tiga calon papan atas Partai Persatuan Daya.
Hasil
pemilihan untuk Dewan Perwakilan Daerah Peralihan (DPRD Peralihan) yang
diselenggarakan tahun itu juga menabalkan betapa tidak efektifnya politik
pemilihan Dayak etnis itu. Partai-partai yang pro provinsi keempat (Kalimantan
Tengah) -yaitu Partai Persatuan Daya, PRN, dan Parkindo- masing-masing
memeroleh bagian kecil suara. Walau Persatuan Daya, partainya Simbar, jelas
berhasil sebagai partai baru -dengan memenangkan masing-masing 3%, 14%, dan 3%
suara, tidaklah cukup meyakinkan Simbar untuk tetap pada partai politik. Tidak
lama kemudian dia pun kembali pada siasat lamanya.
Masuk
Hutan Rimba Lagi
Sesudah
kalah dalam pemilihan umum Christian Simbar kembali masuk ke dalam hutan pada
September 1956. Namun dia tidak memutuskan hubungan dengan penguasa.
Hampir
seluruh waktunya dihabiskan di daerah asalnya di Buntok dan bagian utara Hulu
Sungai, tetapi dia pun bergerak ke barat ke Sungai Kahayan. Douglas Miles dalam
karyanya Cutlass and Crescent Moon: A Case Study of Social and Political Change
in Outer Indonesia (1976) memberikan bukti ihwal Sungai Mentaya Hulu, di atas
Sampit di Kotawaringin, bahwa Simbar dapat menjalin kerja sama dengan militer.
Tjilik
Riwut yang memadukan peranan pemerintahan sipil dengan hubungan militer
berkesinambungan merupakan saluran dan kesempatan bagi pemberi tugasnya. Ini
memungkinkan Simbar beraksi tanpa mendapat hukuman. Gerombolannya menyerang
gudang senjata militer di Sampit pada 10 November 1956.
Pada
6 Desember pasukan Simbar menyerang kota Pahandut yang waktu itu baru merupakan
ibu kota distrik (kecamatan). Dua orang polisi terbunuh, dan kepala distrik
(camat) menjadi seorang dari tiga orang yang terluka. Gerombolan itu dituduh
membakar rumah-rumah, memperkosa perempuan, kemudian melarikan diri dengan
membawa emas dan berlian yang mereka rampas dari penduduk setempat, dan
barang-barang dari kantor pemerintah. Mereka menuju utara ke Kuala Kurung
sepanjang Sungai Kahayan, agaknya dengan maksud mengulangi aksinya.
Pasukan
siaga Simbar memberikan kesan bahwa mereka menguasai sebagian besar daerah
pedalaman kabupaten Kapuas. Mereka melakukan latihan berbaris dan menembak
hanya beberapa kilometer di luar ibu kota Kabupaten Kuala Kapuas.
Pers
ibu kota menganggap seluruh pedalaman tidak aman bagi perjalanan perahu, karena
Simbar akan menembak dan merampok perahu dagang dan perahu pemerintah yang
lewat. Sementara itu, Sungai Katingan, wilayah aliran sungai sebelahnya ke barat
berada di bawah kekuasaan pemimpin gerombolan lain yang bernama William Embang.
Bersama-sama mereka terus menamakan gerakan mereka Mandau Telabang Pantjasila
Kalimantan.
Namun
di pedalaman, Simbar tidak dipandang sebagai pemberontak. Dia ditahbiskan sebagai
pahlawan akar rumput. Para pemimpin setempat agaknya mendukungnya.
Pada
1957, menurut hemat Tjilik Riwut serta komandan militer baru untuk Kalimantan,
keadaan keamanan telah 'ideal'. Sementara itu, Simbar disingkirkan pelan-pelan
dari gelanggang. Dia tidak diperlukan lagi.
Simbar
dan Embang keluar dari hutan rimba dan dibawa menjumpai pejabat Gubernur
Kalimantan Sarkawie beserta rombongan di Banjarmasin pada Maret. Simbar
mengatakan pada mereka, dia memiliki 10.000 anak buah di seluruh Kalimantan Tengah.
Rombongan kemudian melakukan perjalanan bersama ke Buntok dan Bundar untuk
menyaksikan sumpah simbolis kesetiaan kepada negara oleh 400 orang di antaranya
di masing-masing tempat.
Bulan
berikutnya gerombolan itu menjadi tamu kehormatan saat perayaan resmi di setiap
kabupaten dari tiga kabupaten yang akan menjadi bagian dari provinsi baru.
Mereka diberi nama baru Front Pemuda untuk Pembangunan Kalimantan Tengah, yang
masih dipimpin oleh Simbar, yang selanjutnya dipandang sebagai salah seorang pahlawan
bagi rakyat Kalimantan Tengah (Riwut, 1979: 62; Usop, 1996: 82).
Terdepak
dari Gelanggang
Arkian,
Kalimantan Tengah lahir sebagai provinsi pada 17 Juli 1957 dan Tjilik Riwut
terpilih menjadi gubernur perdananya. Simbar sendiri diberdayakan dengan
sejumlah uang dan mencoba berkiprah di jagat bisnis. Dia tak cocok untuk itu
dan jatuh bangkrut.
Pada
1961 Simbar kembali masuk hutan. Ia masih membayangkan bahwa dirinyalah yang
telah merintis jalan satu-satunya menuju keberhasilan politik. Sementara itu,
dia lupa lobi di Jakarta yang dilakukan pihak lain.
Simbar
telah dikangkangi untuk menduduki jabatan gubernur sesudah masa jabatan Tjilik
Riwur berakhir, dan ini membuatnya memberangsang. Namun kali itu tak seorang
pun melindunginya lagi.
Simbar
ditangkap dan meninggal dunia dalam keadaan misterius, tidak lama sesudah dia
dibebaskan dari tahanan militer di Balikpapan, Kalimantan Timur. Penguasa
setempat belum melupakan korban tewas di pihaknya akibat perbuatan Simbar, maka
ada kecurigaan dia telah dieksekusi.
Sebagai
pungkasan, saya ingin mengutip ungkapan puitik dari sastrawan Hermann Broch,
bahwa "Pemberontak tak harus disamakan dengan kriminal, meskipun
masyarakat seringkali menganggap pemberontak sebagai kriminal, meskipun
kriminal kadang-kadang berlaku sebagai pemberontak untuk membuat
tindakan-tindakannya tampak terhormat."
Petualangan
Christian Simbar menjadi pejuang sekaligus pembangkang ini barangkali hanya
untuk menutupi kekeraskepalaan dirinya, elan bertahan hidupnya, atau nun jauh,
membuat tindakan-tindakan kriminalnya sebagai sesuatu yang terhormat dan
melegenda.
Sumber:
https://beritagar.id/artikel/telatah/christian-simbar-pejuang-dayak-yang-melegenda
Komentar
Posting Komentar
Aku Suka Blog Anda