10 Januari 2012

Cerpen "Di Malam Tahun Baru"

Di malam tahun baru
Oleh: Eka Rahmady Hardianto
Tak terasa sebentar lagi akan menyambut tahun baru 2012 dan meninggalkan tahun 2011 tahun yang banyak menyimpan kenangan pahit manisnya isi dunia. Tahun yang sarat akan kejadian-kejadian unik, aneh, bahkan tragis. Sebut saja kejadian tragis yang baru-baru ini terjadi di Kalimantan Timur. Ambruknya jembatan kutai kartanegara (kukar) yang menelan korban sebanyak 20 orang dan kerugian mencapai ratusan juta rupiah. Sungguh menyayat hati bangsa Indonesia. Dengan datangnya pergantian tahun kali ini semoga saja kejadian serupa tidak akan terjadi lagi.
Dimalam pergantian tahun kali ini, aku, ayah, ibu dan kedua adik laki-laki dan perempuanku. Merayakan detik-detik pergantian tahun 2011 ke tahun 2012 kali ini, mengadakan acara syukuran dengan bakar-bakar daging ayam.
“Yah, api di tungku yang ada depan rumah sudah dinyalakan apa belum?” tanyaku pada ayah.
“Belum, ayah masih sibuk nih, coba kamu nyalakan sana,” jawab ayahku
“Ya, Yah,” sahutku singkat, sambil melangkah keluar rumah menuju tungku pembakaran.
Aku pun segera menghidupkan api di tungku dan beberapa meter di sebelahnya tidak lupa kuhidupkan api unggun yang aku buat sebelumnya.
Darrrrrrrr,,,,,darrrr,,,,darrrr,,,,,, suara kembang api dilangit malam itu begitu indah. Aku iri melihat hal itu, ingin rasa aku ikut menyalakan kembang api namun apa daya, tak punya uang untuk membelinya. Pernah dua hari sebelunya aku menminta uang pada ayahku untuk membeli kembang api tapi apa yang aku dapatkan ayahku bilang tidak ada gunanya, hanya akan menghaburkan uang, yang dilihat hanya sekejab tapi mencari uangnya butuh waktu dan keringat. Mendengar kata-kata ayah seperti itu aku pun mengurungkan niatku untuk membelinya.
“ Eka, ini ayamnya, sudah ibu kasih bumbu,” panggil ibu sambil memberikan semangkok besar yang penuh dengan daging ayam.
“Ya Bu,” ucapku dengan semangat seraya mengambil mangkok dan membawannya ke tungku pembakaan.
Api yang kuyalakan terlihat menari-nari seakan ikut merayakan malam pergantian tahun kali ini. Adikku pun ikut dalam proses pambakaran, dia sangat bersemangat, sampai-sampai dia berjoget-joget mengelilingi api unggun yang kubuat.
“De, bantuin kakak membakar daging ayam ini,?” ucapku padanya.
“Ya kak,? seketika dia berhenti berjoget dan langsung membantuku.
“Jika ingin cepat matang, kita harus membakarnya bersama-sama de,? ucapku padanya kembali.
Panasnya api tidak membuatku patah semangat untuk membakar daging ayam itu. aku merasa hal itu akan menjadi pembelajaran bagiku dan adikku bagaimana pentinnya bekerjasama.
“Sudah masak atau belum daging ayamnya anak-anak,? “ ucap ayahku sambil menepuk kedua bahuku dan adikku.
“Sudah Yah,?” ucapku sambil mengambil daging ayam yang sudah masak di tungku pembakaran.
“Oh begitu, ya sudah, ayah, ibu dan adikmu akan mempersiapkan nasinya untuk nanti kita nikmati bersama?” ucapnya dan langsung saja dia beranjak pergi.
. Nikmat terasa bisa berkumpul bersama keluarga, canda dan tawa menyelimuti ketika menikmati daging ayam bakar walaupun hanya dengan kecap dan saos padas saja.
“Semoga di tahun yang baru ini hujan kerahmatan dari Allah terlimpahkan kepada kita sekeluarga dan juga semoga kita diberi umur yang panjang dan kesehatan agar kita dapat bertawakal terus kepadan-Nya,?” ucap ayahku sebelum makan.
Kami pun segara menikmati ayam bakar tersebut. Aku merasa bahagia melewati tahun baru kali ini bersama keluarga besarku. Hal itu tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.



Kampus PBSI FKIP Unpar 2012

02 Januari 2012

Cerpen Temanku Inspirasiku


Temanku Inspirasiku
Oleh: Eka Rahmady Hardianto
Ketika hujan turun membasahi seisi bumi, tanah yang dulunya kering menjadi basah oleh butiran-butiran air yang menghujam terus menerus tanpa henti. Penantian yang panjang itu datang setelah kemarau panjang melanda desaku. Hujan menjadi penyegar bagi tumbuhan dan hewan-hewan yang haus akan tetesan air. Pagi hari menjadi pertanda aktivitas kehidupan dimulai.
Bagi sebagian orang mungkin aktivitas mencari rumput merupakan hal yang biasa, tetapi temanku yang satu ini berbeda. Sesosok pemuda yang kukenal dia sangat baik hati, rajin mengaji, tutur sapa dan tingkah lakunya menjadi contoh bagi pemuda di desaku. Dia adalah temanku, Sarji namanya. Tubuhnya tidak terlalu gemuk, tetapi kekar. Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, ya, kira-kira 150 cm, kulit sawo matang, rambut yang ikal, hidung pesek, bibir tebal dan sayang ketika dia tersenyum gigi kuning bak emas permata menyeruak bersama senyumannya. Maklum dia pecandu rokok berat, dalam sehari saja dia bisa menghabiskan lebih dari lima belas batang.
Dia teman akrabku dari kecil hingga dewasa sampai saat ini. Ketika kecil dia itu sangat bandel, nakal, suka menjahili teman, terutama anak perempuan. Walaupun dia sangat bandel, tetapi dia mempunyai sifat yang baik. Contohnya saja ketika kami bermain bersama, mainan kami pada zaman dulu adalah mobil-mobilan yang terbuat dari kulit jeruk bali.
“Eka, kamu bisa membuat mobil ini nggak?” ucapnya padaku dengan mengutak atik mobil mainannya yang sudah hampir jadi.
“Aduh, aku tidak bisa,” sahutku.
“Ya, sudah nanti aku yang membuatkan,” ucapnya lagi padaku.
Aku merasa senang waktu itu. Dia sangat baik padaku, itu salah satu kebaikan yang kuingat sampai saat ini. Setelah dewasa dia berubah sangat drastis. Sifat dan tingkah lakunya menjadi semakin baik.
Rumahnya berada di seberang rumahku. Kira-kira lima ratus meter. Dia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia berhenti sekolah ketika SMP kelas tiga, ketika itu dia tidak mengikuti ujian nasional, dikarenakan keterbatasan biaya. Dia menjadi tulang punggung keluarga setelah kakak perempuannya menikah. Setiap hari dia harus bangun pagi, bersiap-siap untuk berangkat mencari rumput di lahan sawit. Kebetulan di dekat desa kami ada perusahaan sawit. Ketika itu di pagi hari saat libur sekolah, aku berdiri di depan pintu rumahku.
“Sarji!” teriakku dari kejauhan.
“Apa?” sahutnya padaku dengan teriakannya.
Aku beranjak dari tempat dudukku, melangkah dengan perlahan menghampiri temanku. Tetesan air hujan mengenai tubuhku, terasa dingin kurasakan ketika angin berhembus. Jalan yang becek kulalui dengan berhati-hati.
“Lagi sibukkah?” ucapku padanya.
“Ya, persiapan untuk mencari rumput,” ucapnya sambil mengikat sabit di boncengan sepeda tuanya. Udara yang dingin dan tanah yang basah, tak mengurungkan niatnya untuk berangkat mencari rumput. Jarak yang dia tempuh sangat jauh, karena aku pernah ikut bersamanya. Ingin melihat betapa sulitnya mencari rumput, sebab tidak dia saja yang membutuhkannya orang lain pun mempunyai keinginan yang sama dengannya.
“Aku berangkat dulu ya,” ucapnya padaku.
“Ya, hati-hati di jalan,” ucapku padanya.
Perlahan dia mengayuh sepeda tuanya dengan tekad mendapat rumput hari ini, agar dapat memberi makan empat ekor sapinya. Hal itu dia lakukan hampir setiap hari, udara dingin, hujan dan petir menyambar tak akan menghalangi niatnya. Aku pun terinspirasi dengan keteguhan dan kesabarannya. Padahal di sisi lain sebenarnya dia mempunyai cita-cita yang mulia. Ketika itu kami sedang duduk berdua di kursi teras rumahnya. Aku bertanya kepadanya.
“Cita-cita kamu ingin jadi apa Ji?” tanyaku padanya.
“Kalau aku tidak putus sekolah sih, aku ingin menjadi seorang guru. tapi apalah daya, nasib berkata lain. Biaya menjadi masalah utama bagiku dan keluargaku. Andaikan aku menjadi orang kaya, mungkin hal ini tidak akan terjadi padaku,” jawabnya padaku.
“Mungkin Allah mempunyai rencana lain untukmu, kelak kamu akan diberi nikmat yang lebih dibanding sekarang. Syukuri saja apa yang ada sekarang ini, dengan terus bertawakal dan berserah diri kepada-Nya,” ucapku padanya dengan menepuk pundaknya.
Walaupun dia dari keluarga yang kurang mampu, tetapi sifat dan tingkah lakunya, kemauan dan kerja kerasnya itu yang menjadi inspirasiku untuk terus belajar menggapai cita-citaku setinggi-tingginya.
Kampus PBSI FKIP Unpar 2011

Cerpen ke 4 +Harapan Keluarga+



Harapan Keluarga
Oleh: Eka Rahmady Hardianto

Dipagi hari yang cerah, ditemani dengan semilirnya angin yang mengembus dan  kicauan burung menyambut datangnya pagi. Embun pagi masih terlihat seperti butiran-butiran salju yang menempel di dedaunan. Aku bersiap untuk berangkat ke sekolah pagi ini, pakaian yang kukenakan sudah rapi bagiku. Celana abu-abu panjang dengan baju putih pendek bertuliskan namaku yang terletak di atas saku, telah  selesai kumasukkan sebagian dengan sabuk yang melingkar diperutku. Langkahku berlanjut menuju rak sepatu yang berada di samping pintu dan aku pun duduk untuk mengenakannya.
“Siap untuk berangkat,” pikirku dalam hati.
Hari ini adalah hal yang aku tunggu setelah hampir tiga tahun aku menuntut ilmu di SMA N 2 KUMAI tempat aku belajar. Ya, pengumuman hasil ujian nasional. Hal tersebut sangat ditunggu baik diriku maupun teman-temanku. Pengumuman  tersebut wajib dihadiri oleh wali setiap murid tersebut, merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh ibuku. Ibuku berjanji padaku ingin menghadiri acara itu, sedangkan Ayahku secara kebetulan juga mengambil rapor adikku yang duduk di bangku sekolah Madrasah Tsanawiah.
”Ibu, sudah siap belum?” ucapku dengan ibuku.
Aku lihat dia sedang bercermin bersolek memakai bedak favoritnya. Ibuku memakai kerudung berwarna coklat, baju bermotif bunga-bunga yang berwarna-warni, seakan menggambarkan harapan hatinya yang senang waktu itu. Aku tahu ibuku tidak mau melewatkan hari yang bersejarah dalam hidupnya, dapat hasil pengumuman hasil ujianku, untuk menentukan apakah aku lulus atau tidak.
“Ya, bentar lagi nak?”  ucapnya dengan lembut.
Kami pun berangkat dari rumah, naik sepeda motor. Kira-kita 25 menit kami sampai kesekolah. Sekolahku memang cukup jauh dari rumah, setiap pagi aku dan adik-adikku harus bangun pagi. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Disinilah beban itu harus aku emban, sebagai anak pertama yang harus menjadi contoh bagi adik-adikku.
            Sang surya menampakkan dirinnya dengan sinarnya yang semakin terang dari ufuk timur yang terlihat menembus sela-sela pohon waru yang terletak tepat di belakang sekolahku.
            “Ibu, nampaknya acara sudah dimulai?” ucapku sembari melihat kearah ruangan kelas yang nampak telah penuh dengan wali murid.
            “Ya, Ibu masuk kelas dulu ya?” jawabnya.
Ibuku pun melangkah dengan tenang menuju ruang kelasku, kumenunggunya di tempat parker bersama teman-temanku. Hati terasa berdebar-debar bercampur takut. Tak sabar rasanya menunggu Ibuku keluar membawa amplop yang berisi hasil pengumuman. Satu jam telah berlalu, ketika aku sedang bercakap-cakap dengan temanku. Aku tersentak diam, sewaktu melihat ibuku keluar dari pintu ruwang kelas. Wajah ibuku nampak tenang, tatapan matanya menuju kearahku. Seakan member tanda, tetapi aku tak bisa membacanya. Tentunya ibuku sudah tau apa isi amplop itu. Langkah kakinya semakin dekat menuju kearahku, dan seketika dia memberikankan amplop itu ketanganku. Aku melihat sekelilingku, teman-temanku meluapkan kegembiraannya dengan berteriak-teriak, mencoret-coret baju mereka, sampai meloncat-loncat ditempat. Melihat hal itu aku pun tak sabar, dan langsung saja membukanya. Seketika aku tersentak kegirangan.
            “Hore…, aku lulus!” ucapku dengan keras. Segera aku peluk mamaku, tetesan air matanya mengalir dari mata kebahagiaan mengalir dari matanya.
            “Kenapa ibu menangis?” tanyaku lirih.
            “Ibu bangga padamu nak, kamu bisa lulus dengan nilai baik. Kamu harus menjadi contoh untuk adik-adikmu. Kamu harus menjadi orang yang sukses. Karena ibu tahu cita-citamu ingin menjadi seorang guru. Setelah ini kamu harus melanjutkan ke perguruan tinggi ya?” ucapnya dengan lirih padaku.
            “Apa aku sanggup, mewujudkan keinginan itu,” pikirku dalam hati.
Aku tertunduk lesu, seakan tak percaya. Perjuanganku menggapai cita-cita tak sampai hanya taman SMA saja. Harapan keluarga menjadi tantangan yang harus aku buktikan. Menjadi orang yang sukses dikemudian hari. Sebab dilingkungan keluargaku, ibuku hanya tamatan SMP sedangkan Ayahku sampai Aliah.
“Ya ibu, aku akan mewujudkan keinginan itu,” ucapku dengan nada lemas.
            Ucapan itu membuat aku senang sekaligus sedih, sebab aku merasa aku mungkin tidak mampu mewujudkan keinginan itu. tetapi hal itu aku anggap sebagai tantangan yang harus aku lalui, karena kutahu keluargaku akan bangga padaku jika mimpi itu terwujud melihatku sukses dikemudian hari.


Kampus PBSI FKIP Unpar 2011

Cerpen ke tiga +Persembahan Angkatan+


Persembahan Angkatan
Oleh: Eka Rahmady Hardianto
Malam pentas seni segara dimulai Tanggal 20 Oktober 2011, pukul 19.00 WIB, kegiatan tersebut di laksanakan di Aula Unpar. kegiatan tersebut masih dalam rangkaian kegiatan penyuluhan. Panas terik matahari begitu terang menyinari siang hari, seakan memberi pertanda bahwa persembahan gebyar-gebyar akan sukses. Ketika itu aku selesai menjemur pakaian yang telah kucuci, tiba-tiba terdengar nada sms dari ponselku. Segera langkahku perlahan meanghampiri ponselku, kuraih dan kubuka sms itu dan ternyata sms tersebut dari kordinator persembahan kebyar-kebyar, Syamsul Rizal namanya.
“Tolong yang kelas B baik yang gebyar-gebyar atau sitkom tolong hadir ke aula sekarang. Pengarah marah-marah karena tidak ada angkatan 2009 di aula Unpar untuk mengikuti acara gladi resik” begitu bunyi sms yang dikirim padaku.
“Ya, oke segera meluncur,” balas smsku.
            Tak berpikir panjang lebar, segera aku bergegas kuraih kunci motor, dan kuhidupkan mesin motor dan berangkat ke aula. Setelah lima menit kusampai di aula. Aku berdiri di depan pintu aula dan kulihat dalam ruangan ternyata telah penuh dengan peserta persembahan dari berbagai angkatan. Langkahku berlanjut menuju kedepan, kulihat kanan dan kiri, ternyata teman-teman seangkatanku belum satu pun yang hadir. Aku tahu bahwa memang kelas A tidak bisa mengikuti acara gladi tersebut, karena mereka ada ujian di kampus.
            Aku beranjak keluar dari ruangan, dan aku duduk bersandar di tiang gedung. Panas hari itu, menjadikan emosiku meningkat. Segara kutelepon Rizal.
            “Assalamualaikum,” ucapnya setelah mengangkat telepon dariku.
            “Walaikum Salam, Zal kita ini, jadi ikut gladi tidak?” Ucapku dengan suara keras, berbalur dengan perasaan marah.
            “Ya, jadi,” jawabnya dengan santai.
            “Ayo cepat, acara sudah dimulai dari tadi bentar lagi giliran kita,” sahutku dengan cepat.
            “ Ya, ini lagi di jalan,” ucapnya.
            “Ya !,” jawabku singkat dan langsung saja kututup teleponku.
Singakat cerita, kami akhirnya tidak mengikuti acara gladi tersebut, dikarenakan hanya sebagian saja yang hadir.
Pukul 16.00 WIB, kami melakukan kesepakan untuk berkumpul di Aula. Persiapan cukup baik kali ini, aku dan teman-temanku sudah mengenakan kostum kebesaran gebyar-gebyar yaitu baju merah berkerah putih, celana putih dan memakai kopyah yang telah diberi bros bendera merah putih yang berukuran kecil yang diletakkan disamping kanan kopyah.
Detik-detik yang mendebarkan akan segera dimulai, perasaanku gugup dan tegang menggelayutiku. Aku pun merefleksikan diriku dengan mengusap-usap kedua telapak tanganku, sambil menarik napas dan menghembuskannya.
“Kenapa aku jadi tegang begini ya,? pikirku dalam hati.
“Kenapa Eka, kamu kok kelihatan tegang gitu. ucap Rizal padaku, sembari menepuk pundakku.
“Ah, kamu ini Zal, aku nggak tegang kok, santai saja, he…he…he…”ucapku menbela diri.
“Rizal, aku minta maaf ya, atas ucapanku tadi di telepon?” ucapku kembali padanya.
“Oh ya, tidak apa-apa sudah aku maafin kok,” ucapnya padaku.
            Kami dan para pengarah, selanjutnya melakukan doa bersama membentuk lingkaran, berpegang tangan untuk menyatukan hati dan pikiran kita. Semoga penampilan hari ini dapat memuaskan hati para undangan dan khususnya penanggung jawab kegiatan Bapak Lukman. Pesan yang disampaikan kakak-kakak pengarah yang aku ingat adalah jangan ingin menjadi yang terbaik, tetapi tunjukkan yang terbaik, begitulah ungkapan yang disampaikan.
            Penampilan sudah kami lalui tinggal menunggu hasil penilaian dari bapak Likman. Kami duduk berkumpul satu angkatan, menunggu dengan cemas, suasana tegang ketika bapak membacakan penilaian.
            Secara keseluruhan penampilan gebyar-gebyar bagus, dari segi kostum, kekompakan, suara dan arasemen misik, wow…sangat bagus. Ucapnya dengan tegas.
            “Ye…ye…ye…” ucapku dan teman-temanku semua. Kami langsung saja berdiri dari tempat duduk, bersorak kegirangan.
            “Tetapi!” ucap bapak kembali. Seketika kami terdiam lesu.
            “Karena pembacaan yang tiga orang itu, khususnya Supian Sugiman. Suaranya melengking tetapi hilang, bapak memberi kalian nilai delapan,” ucapnya lagi. Seketika kami pun tetap bergembira.
            Penampilan kami memang memikat penonton, tetapi tentunya ada sedikit kekurangannya. Hal tersebut akan menjadi pelajaran dikemudian hari, agar lebih baik kedepanya. Ucapan terima kasih aku ucapkan kepada dan kakak-kakak pengarah yang setiap hari mau mengarahkan kemi dan teman-temanku yang selalu bersatu, semoga hal itu akan terus ada dalam diri kita. Tantangan kita masih ada teman, satukan hati, bentuk kesatuan yang kuat untuk kesatuan angkatan 2009.
    Kampus PBSI FKIP Unpar 2011