Temanku Inspirasiku
Oleh: Eka Rahmady Hardianto
Ketika hujan turun
membasahi seisi bumi, tanah yang dulunya kering menjadi basah oleh
butiran-butiran air yang menghujam terus menerus tanpa henti. Penantian yang panjang
itu datang setelah kemarau panjang melanda desaku. Hujan menjadi penyegar bagi
tumbuhan dan hewan-hewan yang haus akan tetesan air. Pagi hari menjadi pertanda
aktivitas kehidupan dimulai.
Bagi sebagian
orang mungkin aktivitas mencari rumput merupakan hal yang biasa, tetapi temanku
yang satu ini berbeda. Sesosok pemuda yang kukenal dia sangat baik hati, rajin
mengaji, tutur sapa dan tingkah lakunya menjadi contoh bagi pemuda di desaku.
Dia adalah temanku, Sarji namanya. Tubuhnya tidak terlalu gemuk, tetapi kekar.
Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, ya, kira-kira 150 cm, kulit sawo matang, rambut
yang ikal, hidung pesek, bibir tebal dan sayang ketika dia tersenyum gigi
kuning bak emas permata menyeruak bersama senyumannya. Maklum dia pecandu rokok
berat, dalam sehari saja dia bisa menghabiskan lebih dari lima belas batang.
Dia teman akrabku
dari kecil hingga dewasa sampai saat ini. Ketika kecil dia itu sangat bandel,
nakal, suka menjahili teman, terutama anak perempuan. Walaupun dia sangat
bandel, tetapi dia mempunyai sifat yang baik. Contohnya saja ketika kami bermain
bersama, mainan kami pada zaman dulu adalah mobil-mobilan yang terbuat dari
kulit jeruk bali.
“Eka, kamu bisa
membuat mobil ini nggak?” ucapnya padaku
dengan mengutak atik mobil mainannya yang sudah hampir jadi.
“Aduh,
aku tidak bisa,” sahutku.
“Ya, sudah nanti
aku yang membuatkan,” ucapnya lagi padaku.
Aku merasa
senang waktu itu. Dia sangat baik padaku, itu salah satu kebaikan yang kuingat
sampai saat ini. Setelah dewasa dia berubah sangat drastis. Sifat dan tingkah
lakunya menjadi semakin baik.
Rumahnya berada di
seberang rumahku. Kira-kira lima ratus meter. Dia adalah anak kedua dari dua
bersaudara. Ia berhenti sekolah ketika SMP kelas tiga, ketika itu dia tidak
mengikuti ujian nasional, dikarenakan keterbatasan biaya. Dia menjadi tulang punggung
keluarga setelah kakak perempuannya menikah. Setiap hari dia harus bangun pagi,
bersiap-siap untuk berangkat mencari rumput di lahan sawit. Kebetulan di dekat
desa kami ada perusahaan sawit. Ketika itu di pagi hari saat libur sekolah, aku
berdiri di depan pintu rumahku.
“Sarji!” teriakku
dari kejauhan.
“Apa?” sahutnya
padaku dengan teriakannya.
Aku beranjak
dari tempat dudukku, melangkah dengan perlahan menghampiri temanku. Tetesan air
hujan mengenai tubuhku, terasa dingin kurasakan ketika angin berhembus. Jalan
yang becek kulalui dengan berhati-hati.
“Lagi sibukkah?”
ucapku padanya.
“Ya, persiapan
untuk mencari rumput,” ucapnya sambil mengikat sabit di boncengan sepeda tuanya.
Udara yang dingin dan tanah yang basah, tak mengurungkan niatnya untuk
berangkat mencari rumput. Jarak yang dia tempuh sangat jauh, karena aku pernah
ikut bersamanya. Ingin melihat betapa sulitnya mencari rumput, sebab tidak dia
saja yang membutuhkannya orang lain pun mempunyai keinginan yang sama
dengannya.
“Aku berangkat
dulu ya,” ucapnya padaku.
“Ya, hati-hati
di jalan,” ucapku padanya.
Perlahan dia
mengayuh sepeda tuanya dengan tekad mendapat rumput hari ini, agar dapat memberi
makan empat ekor sapinya. Hal itu dia lakukan hampir setiap hari, udara dingin,
hujan dan petir menyambar tak akan menghalangi niatnya. Aku pun terinspirasi
dengan keteguhan dan kesabarannya. Padahal di sisi lain sebenarnya dia
mempunyai cita-cita yang mulia. Ketika itu kami sedang duduk berdua di kursi
teras rumahnya. Aku bertanya kepadanya.
“Cita-cita kamu
ingin jadi apa Ji?” tanyaku padanya.
“Kalau aku tidak
putus sekolah sih, aku ingin menjadi
seorang guru. tapi apalah daya, nasib berkata lain. Biaya menjadi masalah utama
bagiku dan keluargaku. Andaikan aku menjadi orang kaya, mungkin hal ini tidak
akan terjadi padaku,” jawabnya padaku.
“Mungkin Allah
mempunyai rencana lain untukmu, kelak kamu akan diberi nikmat yang lebih
dibanding sekarang. Syukuri saja apa yang ada sekarang ini, dengan terus
bertawakal dan berserah diri kepada-Nya,” ucapku padanya dengan menepuk
pundaknya.
Walaupun
dia dari keluarga yang kurang mampu, tetapi sifat dan tingkah lakunya, kemauan
dan kerja kerasnya itu yang menjadi inspirasiku untuk terus belajar menggapai
cita-citaku setinggi-tingginya.
Kampus
PBSI FKIP Unpar 2011