Tugas
Kajian
Puisi
Oleh
Eka
Rahmady Hardianto
Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Palangkaraya
2013
Aku Tandai
Karya:
Isbedy Stiawan ZS
aku
tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak
yang
tak akan pernah terhapus bilangan
sampai
hapal benar
aku
pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal
tubuhku
sendiri
dari
akar dan batang rumputan yang pernah kita
petik
dulu, kini telah pula jadi pohon:
menahan
terik, menepis gerimis supaya tak sampai
menggores
tanda di tubuhmu tahi lalat itu yang
senantiasa
kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau
tahi
lalat yang tumbuh dari dunia kanak-kanak itu
akan
selalu kuingat, bahkan jadi bunga setiapkali aku
tertidur.
meski
tak beraroma, akan kuhidupi pula lekuk dan
gerakmu
dalam gerakku pula, lalu akan menari di antara
tanah
yang subur bagi mekarnya perjalanan ini.
ya.
Aku tandai tahi lalatmu yang masih kukenang dari
dunia
kanak-kanak kita. seperti sebuah album,
sebagaimana
kita menyatu dalam rumah tangga
besar.
Lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis
dalam
hidangan di piring saat pagi dan petang
Lampung, 2001
1. Mitos dalam Puisi Aku Tandai
karya Isbedy Stiawan
Tahi lalat merupakan sebuah aksesori
wajah yang membantu mempermanis wajah kita. Tahi lalat bisa jadi momok yang
berbahaya bagi kesehatan dan terkadang malah bisa membuat si empunya tahi lalat
menjadi minder akibat tahi lalat yang terlalu besar pada tempat yang terbuka. Tahi
lalat disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan abnormal dari sel pigmen di
bawah kulit yang lebih dalam. Tiap orang mempunyai tahi lalat. Jumlahnya
bervariasi antara 10 - 40, meskipun ada juga yang sampai mempunyai 100-an tahi
lalat.
Kebanyakan tahi lalat muncul dari bayi
lahir hingga usia dua puluh tahun, tetapi ada juga yang muncul selama proses perkembangan
janin. Orang yang sering berjemur di bawah terik matahari mempunyai lebih banyak
tahi lalat. Dalam perkembangannya tahi lalat ini mula- mula agak berwarna
gelap, kemudian membesar, dan mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda- beda.
Ada yang berbentuk oval, ada yang bulat, ada yang ditumbuhi rambut, ada yang
polos, ada yang berwarna cokelat, hitam, dan merah muda. Ada tahi lalat yang
berbahaya, ada juga yang tidak.
Jika tahi lalat Anda terasa gatal atau
sakit, atau terus membesar atau berdarah, sebaiknya periksakan ke dokter, sebab
ada kemungkinan tahi lalat ini berkembang menjadi kanker kulit. Disarankan juga
agar tidak berjemur tanpa pelindung kulit di terik matahari lebih dari dua jam,
karena sinar matahari dapat menambah kecenderungan kulit mengalami melanoma
(kanker kulit).
Mitos dalam puisi Aku Tandai karya Isbedy
Stiawan ZS adalah tanda, menjadi sesuatu yang vital di dalam keseluruhan
perpuisian. Dalam kehidupan sehari-hari tentunya kita mengenal tanda, apalagi
di dalam puisi yang menjadi dasar pembicaraan tulisan adalah Aku Tandai Tahi Lalatmu yang menjadi
penanda dalam puisinya. Puisi tersebut menjelaskan bagaimana tahi lalat menjadi
inti dalam puisi tersebut.
2. Kata yang Dominan
Frasa
yang dominan dalam puisi di atas adalah yang pertama adalah /tahi lalat/, karena terdapat dalam
setiap bait dalam puisi tersebut. Kata dominan merupakan kata yang sering digunakan
atau dipakai dalm puisi yang menjadi topik atau inti puisi.
/aku
tandai tahi lalatmu dari dunia
kanak-kanak
yang
tak akan pernah terhapus bilangan
sampai
hapal benar
aku
pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal
tubuhku
sendiri/
Frasa ‘tahi lalat’ terdapat dalam larik
pertama, bait pertama. Kalimat tersebut menjelaskan bahwa tahi lalat merupakan
tanda yang dimiki anak - anak sejak kecil yang takkan pernah terhapus dalam
lekuk tubuh sebagai ciri dari pemiliknya.
/dari
akar dan batang rumputan yang pernah kita
petik
dulu, kini telah pula jadi pohon:
menahan
terik, menepis gerimis supaya tak sampai
menggores tanda di tubuhmu tahi lalat itu yang
senantiasa
kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau/
Frasa ‘tahi lalat’ juga terdapat pada bait
ke dua, baris ke tiga. Kalimat tersebut menjelaskan bahwa tahi lalat pada tubuh
kita akan menjadi saksi perjalanan hidup kita, walaupun sampai kita merantau ke
negeri atau daerah lain tahi lalat tersebut akan tetap menjadi ciri atau tanda
pribadi pemiliknya.
/tahi
lalat yang tumbuh dari dunia kanak-kanak itu
akan
selalu kuingat, bahkan jadi bunga setiapkali aku
tertidur.
meski
tak beraroma, akan kuhidupi pula lekuk dan
gerakmu
dalam gerakku pula, lalu akan menari di antara
tanah
yang subur bagi mekarnya perjalanan ini/
Kata ‘tahi lalat’ terdapat pada bait
ketiga, baris pertama. Pada kalimat tersebut menjelaskan bahwa tahi lalat yang
tumbuh pada dunia anak-anak akan selalu diingat sampai meninggal dunia
sekalipun. Meski tak beraroma, tetapi akan selalu teringat sampai kapan pun.
/ya.
Aku tandai tahi lalatmu yang masih kukenang dari
dunia
kanak-kanak kita. seperti sebuah album,
sebagaimana
kita menyatu dalam rumah tangga
besar.
Lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis
dalam
hidangan di piring saat pagi dan petang/
Frasa ‘tahi lalat’ terdapat juga pada
bait terakhir yaitu bait ke empat, baris pertama. Pada kalimat tersebut
menjalaskan bahwa tahi lalat menjadi tanda dari dunia kana-kanak semua. Seperti
sebuah album yang menyatu seperti sebuah keluarga besar yang saling mengenal
satu dengan yang lain, seperti sebuah hidangan di sebuah piring yang dimakan
secara bersama-sama.
3. Pendapat Para Ahli tentang Kumpulan
Puisi Isbedy Stiawan
Berikut ini adalah pendapat para pakar
tentang kumpulan puisi karya Isbedy Stiawan ZS dalam bukunya penerbit Gama Media.
1. Menurut Sutardji Calzoum Bachri :
“ISBEDY Stiawan ZS (Bandar Lampung) bukan muka baru dalam perpuisian. Sejak
1987, karya-karyanya sudah muncul di media massa. Pengalaman belasan tahun
dalam pergaulan kreatif menghasilkan sejumlah sajak-sajak menarik. Tampak
ungkapan-ungkapan segar dalam sajaknya ditampilkan dalam susunan saling
bersambung—mendukung membentuk secara halus lembut dan tersamar suatu gagasan
pikiran atau perasaan ataupun kesan, dalam suatu krutuhan yang diharapkan dapat
menjadi renungan dalam. Begitu pula obsesinya dalam menandai keperihan hidup
yang traumatik ditranformasikan, menjadi suatu upaya untuk mencari dan meraih
hikmah segar bagi nilai hidup dan kemanusiaan.”
2.
Menurut Maesa Ayu (Cerpenis) : “Membaca Kumpulan puisi aku tandai Tahi
Lalatmu, banyak hal di dalam hatiku bagai menemukan pasangan hidupnya.
Kebetulan pagi ini suasana hatiku sedang romantis. Mungkin bisa kutambahkan,
puisi-puisi tahi lalat Isbedy amat
romantis. Selain itu, kata –katanya pun sangat jernih. sebuah puisi tentang
senar gitar yang putus dan pesawat telepon SCB yang memangil itu saja, tetaplah
menjadi sebuah puisi yang baik ketika
penulisnya mampu mengomunikasikan dam tulisannya dengan pembacaanya. inilah
salah satu yang kusuka dari kumpulan puisi Isbedy.
4. Sejarah Perjalanan Sajak-Sajak
Isbedy Stiawan ZS
Isbedy
Stiawan ZS, (lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 5 Juni 1958) adalah
sastrawan Indonesia. H.B. Jassin menjulukinya Paus Sastra Lampung. Sejak lahir
hingga kini, Isbedy tinggal menetap di Bandar Lampung. Selain menulis karya
sastra (cerpen, puisi, esai sastra), kini dia aktif di Dewan Kesenian Lampung
(DKL) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Isbedy mulai bersentuhan
dengan dunia sastra sejak bangku SMP tahun 1975. Karya-karya Kho Ping Hoo
adalah bacaan yang saat itu digemarinya. Sebelum terkenal sebagai penulis, ia
tekun bertaeter bersama Syaiful Irba Tanpaka dan A.M. Zulqornain dalam Sanggar
Ragom Budaya. Ketika STM, dia mulai menggeluti sastra, yaitu menulis puisi dan
cerpen. Dia kerap membacakan sajaknya dari panggung ke panggung. Sejak itu
puisi, cerpen, dan esainya mengalir deras dan dimuat di berbagai media lokal
dan nasional.
Umumnya, proses kreatif puisi Isbedy
lahir setelah ia menemukan kata-kata puitis terlebih dahulu, lalu diolah
menjadi puisi. Ide kreatifnya bisa muncul kapan saja, saat perjalanan, merenung
di waktu malam atau langsung di depan komputer.
Dia
pernah diundang mengikuti berbagai kegiatan sastra di berbagai kota di Tanah
Air, Malaysia, Thailand seperti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Bahru
dan Kedah (Malaysia), Dialog Utara di Thailand, Utan Kayu Literary Festival,
dan Ubud Writers and Readers International Festival.
Isbedy mungkin satu- satunya penyair yang
sangat produktif. Bahkan bila dibandingkan dengan semua penyair Indonesia,
mungkin hanya Isbedy yang paling banyak menerbitkan buku kumpulan puisi
tunggal. Kadang- kadang, tidak sampai lima puluh puisi telah diterbitkan
menjadi buku. Tahun 2003 terbit buku Aku
Tandai Tahi Lalatmu (Gema Media), yang hemat saya inilah buku kumpulan
puisi Isbedy yang menampilkan puisi-puisi paling kuat. Tahun 2005 ada seratus
buah puisinya yang ditulis dalam rentang tiga dekade 1980-an sampai 2000-an,
yang diterbitkan oleh Grasindo dengan judul Kota
Cahaya. Dalam buku ini tampak sekali perubahan-perubahan puisi Isbedy.
Puisi yang ditulis era 1980-an menampilkan puisi-puisi religius.
Beberapa waktu lalu terbit kembali buku
himpunan puisi Isbedy dengan judul Setiap Baris
Hujan (BukuPop, Jakarta (2008) dan Anjing
Dini Hari (2010). Dalam dua buku terakhir terdapat sajak-sajak protes yang
kering. Kalau dalam buku Aku Tandai Tahi
Lalatmu muncul sajak-sajak sosial yang tidak verbal, yang menggugah dan
memantik, maka sajak-sajak sosial dalam buku Setiap Baris Hujan mulai abai pada pengucapan yang jernih dan jatuh
pada pengucapan yang terang-benderang. Sajak-sajak
tahi lalat yang jernih, seperti Aku
Tandai: ”aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak yang tak akan
pernah terhapus bilangan sampai hapal benar pada lekuk dan gerakmu, seperti aku
mengenal tubuhku sendiri”. Menyimak sajak-sajak Isbedy dalam analekta Setiap
Baris Hujan, memang tak semuanya jelek. Beberapa sajak yang tak membawa pesan
moral eksplisit justru menggoda perhatian saya. Isbedy tampaknya sangat teruit
pada kata-kata, walau pun kadang-kadang ia tak berdaya oleh kehadiran
kata-kata, histeria dirajam oleh kata-kata. Hal itu mungkin karena dalam
sajak-sajak Isbedy, kata tak ubahnya gelombang yang bagaikan benang-benang
intuitif yang memintal kandungan maksud dengan cara membuka diri kepada
pembaca. Sajak-sajaknya mengusung kemaknaan dengan maksud ingin berbagi, tidak
sebagaimana sajak-sajak mahagelap yang anti-kata.
Membaca sajak-sajak Isbedy terasa bahagia
jika menyelam kandungan maknanya, ketimbang bersibuk-ria mempersoalkan
tipografi dan gaya karena sangat biasa. Mungkin karena pengaruh bencana yang
bertubi-tubi menimpa negeri ini, maka dalam buku puisi Isbedy sejak Kota Cahaya hingga Setiap Baris Hujan akan kita temukan gempa kata dan tsunami makna.
Bahkan di sana ada bahala yang menimpa berbagai negeri yang membuat orang
banyak celaka, yang dihadirkan lewat kacamata ingin bermakna.
Dialektika kata dengan makna dan peritiwa
tidak lain adalah suara. Kata menghadirkan dirinya, membentuk sebuah kemaknaan,
dan pada kedalaman kemaknaan itu, sang penyair tidak pernah kembali pada
kata-kata ini, melainkan menuju suatu benda yang dirujuk, baru kemudian kata
tersebut dilepas dengan aturan main. Akan tetapi ada bedanya dengan imaji.
Dalam kasus imaji, intensionalitas justru berbalik pada lukisan imaji yang
menyelubungi makna secara konstan. Imaji, tidak lain seperti halnya dalam suatu
kesadaran sang penyair.
Di sini jelas bahwa Isbedy tidak
terpengaruh oleh postmodernisme yang menggejala sejak 1990-an di negeri ini. Ia
tetap intens menghayati kata, menakik struktur kata, dan sajak-sajaknya tidak
hendak berada dalam menara epistemologi eksistensial dengan menghadirkan imaji,
tetapi masuk ke kandungan makna melalui teruit kata-kata. Puisinya membangun
rima dan bunyi hidup sebagaimana kebanyakan sajak liris. Tapi apakah cukup
hanya dengan membuat kegaduhan bunyi subkultur atau bahana-bahana keras kepala
agar menjadi resistensi. Sajak-sajak Isbedy tampaknya menjawab: tidak.
Puisi-puisinya tak membahana oleh tekanan suara yang teratur, tapi ada suatu
maksud dan ”nilai” yang sampai. Dengan maksud yang tegas, dan tak jarang
menampilkan asosiasi yang mengajak pembaca untuk mencari referen ke
sana-kemari, Isbedy berhasil memunculkan renungan yang sadar diri untuk tak
hendak mengejar kebaruan, meski pun ada kata-kata yang sudah khas jadi milik
sang penyair. Tak ada bunyi yang tanpa makna, karena dalam puisi bunyi memang
seperti gema kemaknaan itu sendiri, dan rasa yang ditimbulkannya pun muncul
secara bersama dengan rimanya. Aku lirik terjun dari kekosongan pencarian
menuju bumi dan sumber-sumber literer untuk menemukan bahasa biasa saja lagi.
Isbedy banyak menampilkan perumpamaan
hujan sebagai kilatan ras rindu eksistensial. Hujan puisi Isbedy terasa rimis
oleh kelebat awan kata-kata. Isbedy menjelma seorang pemain di lapangan hujan
kata-kata, yang di awal kemunculannya dianggap sebagai penyair terdepan di
Lampung, tapi kini ia harus ”bersaing” ketat dengan penyair-penyair lain yang
menantang kata-kata.
Keintimannya menjadikan kata sebagai alat
tak lagi menghiraukan kalau bahasa dan gramatikanya kepeleset, tergelincir,
karena hal ini erat hubungannya dengan kreativitas. Sajak-sajaknya menampilkan
kristalisasi dari kata, tapi belum cukup untuk melukiskan seribu tahun dalam
kesunyian.
Semantik dari kata begitu dominan. Kata
sebagai alat muncul bertubi-tubi, dan ini bukan sesuatu yang haram dalam sajak
mutakhir. Sejak puisi lirik hadir sebagai salah satu genre puisi yang dirayakan
banyak penyair di negeri ini, kehadirannya tak bisa menghindar sepenuhnya dari
godaan subjek kata yang menekankan kesadaran tentang manusia dan alam raya.
Dengan lirik Isbedy berusaha melukiskan dan mengungkapkan makna secara
ilustratif. Pembaca dengan mudah bersua dengan renungan kemanusian.